Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kenapa demonstrasi menolak kenaikan harga BBM marak dan kontras terjadi di wilayah Timur Indonesia dan luar Jawa, seperti menjelang kejatuhan Soeharto, pada bulan Mei ‘98?
Antara lain dipelopori oleh para mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, Sulawesi Selatan, dan wilayah-wilayah lainnya.
Kawasan Timur Indonesia umumnya memang dikenal sebagai “sumbu pendek” yang ekspolisif. Selain karena karakteristik masyarakatnya yang terbuka dan cinta kemerdekaan, juga karena masih banyaknya aspek ketertinggalan pembangunan di wilayah tersebut dibandingkan dengan Pulau Jawa.
Dari aspek sejarah masyarakat Timur Indonesia juga dikenal dengan patriotismenya. Sejak abad ke 16 gemuruh perlawanan terhadap kolonialisme di sana telah lebih dulu dikenal.
Sebutlah nama-nama seperti Sultan Hasanuddin yang bergelar Ayam Jantan dari Timur, Sultan Nuku dari Tidore yang oleh orang Inggris dijuluki Lord of Fortune, Thomas Matulessy atau Pattimura, Martha Christina Tiahahu, para pahlawan Kepulauan Banda Neira, Demang Lehman dari Kalimantan, dan seterusnya.
Mereka adalah contoh nama-nama pahlawan yang menggetarkan kekuasaan yang zolim dan menindas rakyat, yang semangatnya ternyata sampai hari ini terus mengalir di dalam jiwa para mahasiswa di sana, yang juga menolak penindasan dan tak menginginkan berlangsungnya ketidakadilan.
Ahli hukum internasional, Profesor G.J Resink, bahkan menyebut hingga awal abad ke 20 masih banyak kerajaan di wilayah Timur Indonesia yang merdeka dan otonom. Wilayah-wilayah ini mampu menegakkan kedaulatannya sendiri.
Ternate misalnya baru bisa ditaklukkan Belanda pada 1923, Ruteng 1928, Sulawesi Selatan 1905, Toraja dan Bali pada 1910. Sedang di Aceh perlawanan terhadap penjajah berkobar sepanjang 70 tahun dengan rakyatnya yang gagah berani dan pantang menyerah.
Perlawanan para mahasiswa Makassar dalam menjatuhkan Soeharto, pada Mei ‘98, yang dipicu oleh kenaikan harga BBM juga tak luput dari peristiwa yang disebut AMARAH atau April Makassar Berdarah, pada 24 April 1996.
Kala itu terjadi bentrokan antara mahasiswa UMI dengan aparat. Mengakibatkan tiga orang meninggal dunia. Hal ini kemudian mengundang reaksi keras yang meluas dari berbagai kalangan dan daerah.
Seperti api menjalar yang tak bisa lagi dipadamkan aksi demonstrasi terus berkobar hingga Medan, Solo, Jakarta, dan kota-kota lainnya, menuntut Soeharto mundur. Peristiwa ini diwarnai oleh kerusuhan sosial.
Mengutip IDN Times online edisi 12 Mei 2018, tiga korban tewas adalah Syaiful Bya (21), mahasiswa arsistektur UMI.
Ia ditemukan meninggal di sungai Pampang, dengan luka memar di bagian dada dan belakang, seperti bekas pukulan, pada 24 April 1996.
Kemudian Andi Sultan Iskandar (21), mahasiswa ekonomi akuntansi UMI yang meninggal dengan luka pada dada bagian kiri dan terdapat bekas tusukan benda tajam.
Terakhir adalah Tasrif (21), mahasiswa ekonomi studi pembangunan UMI, meninggal akibat benda keras dan dibunuh, kemudian jenazahnya ditenggelamkan di sungai.
Pengorbanan murni para mahasiswa ini tentu tak kan pernah sia-sia. Mereka adalah para pahlawan kemanusiaan dan demokrasi, yang patut dikenang di dalam doa, karena telah berjuang dan berkorban demi perbaikan bangsa.
Meski hari ini perjuangan suci mereka telah dikhianati oleh gerombolan elit kekuasaan yang membajak cita-cita reformasi dengan cara licik dan kekerasan, tak ubahnya perilaku banci.
L’ histoire se Repete, sejarah berulang, kata orang Perancis.
Dan demikianlah hukum besi kehidupan. Sejarah dibuat oleh mereka yang sedang berjuang.
[***]