Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Survei elektabilitas calon presiden 2024 terus bergulir. Sering kali hasil survei membuat kening berkerut, terheran-heran. Seperti tidak masuk akal sehat. Nampaknya, telah terjadi pergeseran nilai survei sehingga menjadi sangat komersial. Tanpa peduli apakah itu membohongi masyarakat, dan menjadi tidak bermoral.
Survei bukan lagi untuk mengetahui kondisi elektabilitas calon yang sebenarnya. Tetapi, survei digunakan untuk menggiring opini bahwa calon tertentu sangat populer. Dengan harapan masyarakat nantinya akan ikut memilih calon tersebut. Meskipun nantinya akan menggunakan politik uang.
Survei elektabilitas calon presiden selama ini tidak bisa dipercaya karena sangat bias. Pertama, Indonesia terdiri dari 34 provinsi dengan kondisi masyarakat sangat heterogeen. Masyarakat Bali sangat berbeda dengan masyarakat Aceh atau Sumatra Barat, atau Sulawesi Utara. Masyarakat Nusa Tenggara Barat sangat berbeda dengan Nusa Tenggara Timur atau Lampung, atau Kep. Bangka Belitung.
Misalnya, berkaca pada hasil pilpres 2019, suara perolehan Prabowo sangat besar di Aceh (85,6 persen) atau Sumtara Barat (85,9 persen), tetapi hancur di Bali (8,3 persen), Nusa Tenggara Timur (11,5 persen), Jawa Tengah (22,7 persen).
Kedua, karena itu, sampling 1.200 responden untuk 34 provinsi, atau rata-rata sekitar 35 responden per provinsi hasilnya tentu saja tidak akan akurat sama sekali. Ketika sampling diarahkan ke provinsi tertentu yang menjadi basis pemilih calon tertentu, maka hasilnya akan bias memihak kepada calon tersebut.
Sebagai alternatif dari survei, perkiraan atau prediksi hasil pilpres 2024 bisa juga diperikrakan berdasarkan data empiris pilpres 2014 dan 2019. Apa yang bisa dipelajari dari data tersebut?
Pertama, masyarakat yang memilih partai tertentu belum tentu memilih calon presiden yang didukung partai tersebut. Artinya, terjadi “pembangkangan” kepada partai, dan pembangkangan tersebut bisa sangat ekstrim di daerah.
Misalnya, total suara partai pendukung Prabowo mencapai 59,1 persen di pilpres 2014. Tetapi yang mencoblos Prabowo hanya 46,85 persen. Penurunan suara Prabowo sangat bervariasi per provinsi. Ada yang ekstrim seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, atau Jawa Tengah. Artinya, koalisi gemuk tidak menjamin menang.
Perkiraan Pilpres 2024
Kontestasi pilpres 2024 diikuti 3 capres: Anies, Prabowo dan Ganjar. Anies didukung 27,6 persen suara partai pendukung, Prabowo 43,7 persen, dan Ganjar 28,7 persen. Di atas kertas, Prabowo unggul. Seperti dipertontonkan oleh para lembaga survei. Apakah seperti itu?
Ada dua faktor yang bisa membuat perolehan suara Prabowo tidak seperti di atas kertas. Pertama, pilpres 2024 menjadi kelanjutan pilpres 2019, di mana masyarakat di beberapa daerah melawan Jokowi karena dianggap pemimpin sangat buruk: tidak adil, tidak jujur, menyudutkan kelompok tertentu, diduga melanggar banyak peraturan dan undang-undang, untuk kepentingan kekuasaan dan kelompoknya.
Kali ini perlawanan terhadap Jokowi akan semakin sengit, setelah terjadi MK-Gate atau Gibran Gate, yang melahirkan dinasti politik secara kasar dengan menabrak konstitusi. Perlawanan terhadap Jokowi juga datang dari PDIP dan pendukungnya yang merasa dikhianati.
Prabowo yang menggandeng Gibran, yang disebut Tempo sebagai anak haram konstitusi, akan menjadi sasaran perlawanan masyarakat di berbagai daerah yang anti-Jokowi, karena dianggap kepanjangan tangan Jokowi.
Bukan tidak mungkin perolehan suara Prabowo akan turun lebih dari 10 persen, dari 43,7 persen menjadi di bawah 30 persen, seperti pernah terjadi di pilpres 2014. Ketika itu, suara Prabowo defisit 12,25 persen dibandingkan total perolehan suara partai pendukungnya: 59,1 persen versus 46,85 persen.
Prabowo diperkirakan akan kehilangan suara di Aceh dan Sumatra Barat. Dua provinsi ini terlihat jelas sangat anti-Jokowi, yang hanya memperoleh suara tidak lebih dari 15 persen di pilpres 2019. Mayoritas suara pemilih di dua provinsi ini akan beralih ke Anies sebagai simbol perlawanan kepada Jokowi (dan Prabowo), dengan perolehan suara lebih dari 50 persen.
Jakarta, Sulawesi Selatan dan Gorontalo juga akan dimenangi Anies dengan lebih dari 40 persen. Masyarakat Banten dan Jawa Barat yang memberikan suara kepada Prabowo di pilpres 2019 diperkirakan juga akan beralih ke Anies, dengan persaingan sangat ketat. Jawa Timur menjadi arena persaingan Anies dan Ganjar, dan kemungkinan Anies menang tipis.
Anies diperkirakan menang di 11 provinsi: Aceh, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kalimantan Utara.
Sedangkan Prabowo diperkirakan dapat mempertahankan kemenangan di 11 provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat.
Ganjar diperkirakan menang di 12 provinsi: Sumatra Utara, Lampung, Kep. Bangka Belitung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Maluku Utara. Kekuatan Ganjar terdongkrak signifikan oleh figur Prof. Mahfud.
Ganjar akan menang mutlak (lebih dari 50 persen) di Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Utara, dan menang telak di Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah. Basis massa pendukung PDIP yang merasa sakit hati terhadap “pengkhianatan’ Jokowi siap “menenggelamkan” suara Prabowo.
Berdasarkan analisis berbasis empiris, secara nasional Anies diperkirakan memperoleh 34 persen suara, Prabowo 30,5 persen, dan Ganjar 35,5 persen. Persaingan memang sangat ketat. Blunder bisa membuat peta kekuatan pilpres berubah. Tidak berani debat dan adu gagasan merupakan salah satu faktor sangat negatif, dan menjadi bahan ejekan mayarakat di media sosial. Gibran efek akan minus.
Semoga ada aliansi perguruan tinggi antar provinsi yang independen berkenan melakukan survei di provinsi masing-masing, agar masyarakat bisa mendapat gambaran lebih akurat mengenai peta kontestasi pilpres 2024 yang sebenarnya.
[***]