PADA 9 November, Jenderal Mensergh, komandan kapal perang Sussex sekutu mengultimatum rakyat Surabaya agar menyerahkan senjata dan menyerahkan pemuda-pemuda yang terlibat langsung dalam pembunuhan Jenderal Mallaby.
Anak-anak dan wanita juga diperintahkan meninggalkan kota. Ancaman hukuman mati juga dikumandangkan bagi pemuda-pemuda yang membawa senjata.
Malam harinya para pemuda Surabaya mengontak pemerintah di Jakarta untuk memperoleh masukan apa yang harus dilakukan atas untimatum sekutu itu. Namun, baik Soekarno, Menlu Soebarjo dan elit-elit Jakarta tak ada yang memberi jawaban yang menentukan atas peristiwa itu. Bahkan elit Jakarta itu terkesan mengulur waktu. sebuah sikap yang bikin dongkol pemuda-pemuda revolusioner itu.
Akhirnya keputusan otonom diambil oleh para pemuda-pemuda revolusioner itu, menolak sepenuhnya ultimatum Jenderal Mensergh dan akan melawan sekutu sampai titik darah penghabisan.
Sejak detik itu, pemandangan mengharubiru terlihat di seluruh kota Surabaya. Bagaimana pemuda yang hanya bersenjatakan belati dan pisau-pisau dapur harus menyerang tank-tank Sherman.
Mayat bergelimpangan dimana-mana. Mayat kucing, mayat anjing, ayam, mayat manusia membaur menjadi satu di jalan dan selokan. Anyir bau darah dan bangkai mulai menyelimuti Surabaya.
Perang ganas antara laskar pemuda nekat ala “laskar majapahit” itu melawan senjata-senjata berat sekutu berlangsung hingga tiga minggu. Tentu saja kerugian terberat ada di pihat pemuda-pemuda revolusioner itu. Dan di akhir bulan November itu kota Surabaya praktis jatuh ke tangan sekutu.
Ketika perang ganas itu dimulai pada tanggal 10 November 1945 pukul 6 pagi, pada hari itu juga terbit sebuah brosur terkenal yang ditulis Sutan Sjahrir, “Perjoeangan Kita”.
Lewat Brosur itu Sjahrir menyerukan pembersihan atas apa yang disebutnya sebagai “unsur-unsur kolaborator” seiring pengembangan besar-besaran atas prinsip-prinsip sosialisme kemanusiaan ke dalam pikiran para pemuda.
Korban yang demikian banyak di pihak pemuda Indonesia meyakinkan Sjahrir bahwa perundingan-perundingan dengan Inggris dan Belanda harus segera digelar guna menghindari korban lebih besar lagi dan kemerosotan politik yang lebih dalam di pihak Republik yang baru berdiri.
Namun Tan Malaka yang ada di tengah pertempuran itu mengambil sikap yang berlawanan dengan pandangan Sjahrir yang tertuang dalam brosur “Perjuangan Kita” itu.
Bagi Tan Malaka, kegigihan pemuda Surabaya menunjukkan keinginan mereka untuk melawan di satu sisi. Dan di sisi lain, yang dipentingkan bukanlah perundingan, namun gerakan perlawanan senjata yang lebih terorganisir.
Dan atas brosur “Perjuangan Kita” Sjahrir, Tan Malaka memberi jawaban radikal atas situasi itu lewat penerbitan brosur pada tanggal 2 Desember 1945, atau tiga minggu setelah berkobarnya perang. Brosur karangan Tan Malaka itu diberinya judul “Muslihat”.
Di dalam brosurnya, Tan Malaka menyerukan persatuan seluruh gerakan perlawanan rakyat seiring perlawanan semesta atas kaum agresor yang hendak menguasai kembali Republik Indonesia merdeka.
Salam Radikalisasi Pancasila
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Pusat Kajian Peradaban Pancasila