BARANGKALI hal yang paling berat yang menahan kepergian seseorang dalam rangka meninggalkan kampung halaman, tempat kelahiran hanyalah sebuah tatapan.
Meski hanya tatapan, bisa jadi tatapan itu membekas sembari terus menghantui sepanjang perjalanan, mengisi relung ingatan, mengkristal menjadi rindu. Terutama di saat gelap menyambut malam, tatapan terakhir itu tidak hanya sekedar memberatkan langkah, bahkan seolah memanggil untuk kembali pulang.
Tatapan itu, adalah tatapan seorang ibu kepada seorang anaknya kala berpamitan meminta izin untuk pergi hendak berkelana, melakukan perjalanan panjang, melakukan penjelajahan jauh untuk menemukan dirinya.
Demikian catatan dramatis yang tertulis dalam naskah Bujangga Manik pada perjalanan pertamanya. Apa boleh dikata, niat sang anak melampaui segalanya, akhirnya sang pangeran dari negeri Pakuan meninggalkan kampung halaman, menyeberangi sungai-sungai, melewati jalan berbukit, hingga mendaki gunung-gunung.
Dalam catatan perjalanan pertama, sungai Cihaliwung merupakan sungai pertama yang disebrangi dalam perjalanannya menuju timur jauh. Gunung Gede (ageung) menjadi gunung pertama yang didaki hingga disinggahinya puncak berbatu.
Disebutkan dalam catatannya, sambil mengipasi tubuhnya, Bujangga Manik duduk di atas sebuah batu datar, dia menyebutnya Gunung Ageung (Gede) sebagai gunung (puncak) tertinggi di wilayah Pakuan.
Dari catatan ini kita bisa mengetahui bahwa Gunung Gede, pada masa itu masih memiliki ketinggian di atas Gunung Pangrango.
Kemudian, berdasarkan catatan geologis, Gunung Gede mengalami erupsi pada letusan tahun 1864, dan sejak itu ketinggian Gunung Gede menurun hingga lebih rendah dari pada Gunung Pangrango.
Tingginya gunung yang didaki tidak melunturkan semangat perjalanannya, terbukti, segera setelah menggapai pegunungan di wilayah Pakuan, Bujangga Manik melanjutkan perjalannya ke arah timur. Sungai Citarum disebrangi, Gunung Tampo Omas (Tampomas) dan sungai Cimanuk di Sumedang dilewatinya bahkan Ciremai hingga batas wilayah Sunda telah jauh ia tinggalkan.
Di sini, kali ini, bukan Gunung Slamet, atau Merbabu yang pada waktu itu masih dikenal sebagai Gunung Damalung yang membuatnya tertegun, seolah menyerah untuk melanjutkan perjalanan. Bukan pula hutan belantara yang memanjang rapat yang menciutkan nyalinya sehingga mengurungkan niat perjalanan panjangnya.
Di sini, kali ini, adalah kerinduannya pada sang Ibu yang telah lama ditinggalkannya yang membuat perjalanan panjang dan besarnya seketika ambruk, saat itu pula Bujangga Manik membalikkan badannya ke arah barat, memunggungi arah timur yang hendak jadi perjalanan panjangnya. Sang anak pun melakukan perjalanan menuju barat untuk kembali pulang.
Dalam naskah ini diceritakan, untuk kembali pulang dari daerah Pamalang ke Pakuan, ia tidak lagi menelusuri jalan darat yang sudah ia lalui sebelumnya. Untuk kembali pulang, Bujangga Manik menggunakan perahu orang Malaka hingga Kalapa (Kelapa[?]).
Barangkali kerinduannya pada sang ibu yang membuatnya bergegas, tidak banyak cerita dan tempat-tempat singgah yang dituliskan pada bagian pulang ini, akhirnya Bujangga Manik sampai di Pakancilan, tempat sang ibu, dan kelahirannya menunggu. Di dalam rumah, terlihat sang ibu sedang membuat kain tenun. Tangannya sibuk merajut, pahanya penuh dengan gulungan kain, kakinya menahan bagian lain alat tenun.
Namun begitu menengok sisi lain bagian depan rumah, dan dilihatnya sang anak kembali pulang, tubuhnya seketika bangkit, dilepaskannya setiap peralatan tenun yang menempel di tubuhnya, mengetahui perjalanan jauh dan melelahkan sang anak, Bujangga Manik pun dipersilahkan segera duduk dan beristirahat, lalu disiapkannya keperluan untuk anaknya. Kerinduan sang anak mengalir dan disambut ekspresi cinta dan kasih sayang paling jujur sang ibu.
Oleh Pepep DW, akademisi STSI Bandung dan Penggiat Jelajah Gunung Bandung (JGB)