KedaiPena.com – Kebijakan yang tepat dibarengi oleh pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti mampu meningkatkan kondisi Pantai Marunda menjadi lebih baik. Kolaborasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, diharapkan mampu mengoptimalkan dari pemulihan wilayah-wilayah lainnya yang juga terdampak perubahan alam atau perubahan fisik akibat aktivitas manusia.
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo Setiyo Pranowo menjelaskan pada kasus Pantai Marunda, Abrasi bisa dikurangi dengan kombinasi struktur beton pelindung pantai dan penanaman mangrove. Akar-akar mangrove bisa menjebak sedimen yang kemudian bisa menjadi daratan atau garis pantai baru. Mangrove juga tidak akan bisa menancapkan akarnya dengan kuat lalu tumbuh, apabila tidak ada struktur beton pelindung yang menahan gelombang laut menghantam mangrove yang masih muda atau masih proses bertumbuh.
“Menanggapi berbagai pemberitaan terkait ada kemungkinannya pesisir Marunda yang maju dan mundur, maka saya menggunakan citra satelit yang dikompilasi oleh Google Earth untuk mengamati kemungkinan tersebut. Kemudian saya juga menggunakan data arus permukaan laut yang dibangkitkan oleh angin monsun barat dan monsun timur. Tidak lupa saya menggunakan data salinitas atau kadar garam untuk melihat kemungkinan masuknya air sungai di perairan pesisir. Sedangkan kondisi struktur geologi tanah pesisir diacu dari literatur yang ada,” kata Widodo, Minggu (6/11/2022).
Ia memaparkan bahwa kondisi hidrodinamika perairan Pesisir Marunda secara umum adalah tidak terlepas dari kondisi hidrodinamika di Teluk Jakarta.
Arus permukaan laut di Teluk Jakarta merupakan hasil kopling pembangkitan oleh gaya pasang surut dan gaya angin. Angin yang berhembus di angkasa Teluk Jakarta ada angin monsun barat dan angin monsun timur. Ketika angin monsun barat berhembus, maka angin bergerak dari barat laut menuju ke tenggara. Ketika angin monsun timur berhembus maka angin bergerak dari arah timur menuju ke barat.
“Angin monsun barat membangkitkan arus permukaan laut yang masuk ke dalam Teluk Jakarta dari arah barat-laut dan utara. Berbeda dengan angin monsun timur, arus permukaan laut Teluk Jakarta yang dibangkitkannya adalah cenderung bergerak menuju ke barat,” urainya.
Angin monsun juga membangkitkan gelombang laut. Pesisir Marunda pada saat monsun barat mendapatkan hantaman gelombang dari arah utara. Hantaman gelombang ini berpotensi menyebabkan aberasi di Pesisir Marunda.
“Sedangkan ketika monsun timur, gelombang laut cenderung meninggalkan Pesisir Marunda menuju ke barat. Walaupun demikian, elevasi muka laut tetap ada yang menuju ke pantai ketika air pasang, dan menjauhi pantai ketika ada gaya air surut,” urainya lagi.
Widodo menyebutkan ada sekitar 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan sekitarnya. Dari seluruh muara tersebut, muara Sungai Cikeas/Bekasi, dan Muara Sungai Gembong diduga sangat mempengaruhi kondisi dinamika fisiografi Pesisir Marunda.
“Ketika musim penghujan, kedua sungai tersebut akan menggelontorkan air keruh yang mengandung sedimen, sebagian besar akan ditransportasikan oleh arus di Teluk Jakarta, dan sebagian lagi akan diendapkan di sekitar muara kedua sungai tersebut,” ungkapnya.
Kondisi tanah di Pesisir Marunda, lanjutnya, seperti kondisi secara umum di Teluk Jakarta, adalah berjenis aluvial. Artinya, merupakan bentukan hasil akumulasi dari sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai, yang kemudian mengendap di kanan kiri dari muara sungai, menjadi daratan baru, sehingga garis pantai pun bertambah.
“Namun untuk menjadi garis pantai yang tetap, secara alami, dibutuhkan proses yang cukup lama. Kondisi arus susur pantai, bisa menggerus garis pantai yang masih labil,” ungkapnya lagi.
Berdasarkan citra satelit dari tahun 2000 hingga 2022, ia menyampaikan terlihat kondisi fisiografi Pesisir Marunda mengalami perubahan yang cukup menarik.
“Citra Oktober 2000, memperlihatkan kondisi Pesisir Marunda adalah tambak-tambak, dengan garis pantai yang bisa dibilang masih utuh. Ada terlihat beberapa rumah penduduk namun sangat sedikit. Tidak ada mangrove tumbuh di Pesisir Marunda.
Citra Juni 2009, memperlihatkan kondisi Pesisir Marunda bagian timur mengalami perubahan signifikan, entah secara alami tergerus, ataukah dibuka dengan sengaja. Namun di Pesisir Marunda bagian barat, di sebelah utara dari garis pantai tahun 2000, dibangun pelindung pantai seperti breakwater (pemecah gelombang), sehingga kapal-kapal berlabuh di depan pemukiman penduduk, dengan cara masuk dari sisi timur yang terbuka,” kata Widodo menjelaskan.
Secara runut, ia menunjukkan Citra Agustus 2013, Mei 2014, Agustus 2015, Juli 2016, Mei 2017, April 2018, Mei 2019, Mei 2020, Oktober 2021, Agustus 2022 memperlihatkan adanya pertumbuhan yang signifikan dari luasan mangrove. Sedangkan pertumbuhan rumah-rumah hunian terjadi antara 2013 hingga 2015. Pemukiman di sisi barat, terlihat menghilang pada tahun 2016-2017, yang kemudian mulai 2018 tergantikan oleh vegetasi atau tumbuhan hijau.
Citra Juli 2011, memperlihatkan penambahan pelindung pantai di sisi timur, sehingga menambah area tempat berlabuhnya kapal-kapal, aman dari gelombang laut. Kondisi perairan yang terlindung dari gelombang tersebut, memungkinkan mangrove dapat tumbuh dengan baik, bukti tersebut diperlihatkan juga oleh citra, bahwa ada spot-spot mangrove tumbuh walaupun masih sangat sedikit.
“Maju mundurnya garis pantai memang terjadi secara alami, namun pemerintah daerah dan/atau pusat bisa mengatur tata kelolanya, sehingga aberasi bisa dikurangi dan garis pantai bisa terkonservasi. Tata kelola tersebut menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa