KedaiPena.com – Dalam Peringatan 25 Tahun Reformasi, Konsolidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) menggelar aksi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, belum lama ini.
Dalam orasinya, mahasiswa yang berasal dari Universitas Pamulang, Firmansyah meminta kepada seluruh mahasiswa Indonesia untuk bersatu dan merapatkan barisan.
“Dengan warna-warni almamater bukan jadi suatu pemisah di antara kita. Saat berbicara 25 tahun reformasi, tepat di hari itu tanggal 19 Mei 1998, para pendahulu kita telah menyambut marwah yang dinamakan sejarah rentetan pergerakan di bulan Mei,” kata Firmansyah, ditulis Minggu (28/5/2023).
Ia menjelaskan rentetan pergerakan bula Mei, dimulai dari awal Mei, yakni May Day, diikuti Hari Pendidikan Nasional, lalu mendekati pertengahan bulan Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional.
“1908 bukan awal pijakan pergerakan di Indonesia. Dan hari ini, kebangkitan nasional 2023, harapannya bisa menjadi rangkaian sejarah gerakan yang tidak terputus. Inisiator pergerakan di Indonesia tidak pernah lepas dari kaum-kaum muda, kaum-kaum intelektual yang saat ini telah bertransformasi menjadi mahasiswa. Banyak harapan dari masyarakat, yang masih menggantungkan seluruh keluh kesah dan gelisahnya kepada kita, mahasiswa. Dan itu adalah tanggung jawab moril yang harus kita emban,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa mahasiswa harus terus berpijak pada UU Perguruan Tinggi dan Tri Dharma Perguruan Tinggi, terkait Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.
“Ilmu yang kita dapat di perguruan tinggi, kita diskusikan, kita jadikan solusi untuk diimplementasikan dalam perjuangan. Almamater bukan hanya jati diri dan pengenal dari Mahasiswa tapi merupakan jiwa dan raga, tanggung jawab penuh dari Mahasiswa.
Dengan melepas almamater kita akan berbaur seluruh elemen masyarakat. Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan eksklusif, tapi gerakan yang harus melebur dengan seluruh masyarakat. Buruh, petani, nelayan, pelaku UMKM, Polri, TNI. Mahasiswa akan menjadi representasi wajah rakyat Indonesia, seluruh kegelisahan masyarakat Indonesia,” ujarnya lagi.
Firmansyah mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk mengingat kembali tuntutan Reformasi 1998. Yakni, pertama supremasi hukum, yang diturunkan menjadi beberapa masalah, salah satunya adalah pembatasan jabatan presiden. Dan selanjutnya, KKN dan Dwifungsi ABRI.
“Pijakannya adalah supremasi hukum. Jadi untuk menyelesaikan masalah dibawahnya, yang pertama harus diselesaikan adalah supremasi hukum-nya. Ditegakkan supremasi hukumnya,” kata Firman melanjutkan orasinya.
Ia menyampaikan paska reformasi yang tidak terkendali, akhirnya melahirkan empat amandemen UUD 1945.
“Konstitusi kita sebenarnya sudah diperkosa sebanyak empat kali. Sudah bukan konstitusi yang murni lagi dari harapan rakyat Indonesia. Sudah banyak kepentingan yang masuk dalam pasal, batang tubuhnya hampir 70 persen berbicara ketentuan yang lebih lanjut diatur oleh undang-undang,” ucapnya.
Dengan narasi yang multitafsir itu, lanjutnya, seluruh produk hukum yang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat, masuk dan legal atas nama hukum.
“Jika kita berbicara terkait sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, berkaca dari diri sendiri, saya adalah pelaku 2020, artinya bagaimana produk hukum seperti UU Pertanahan, UU Tipikor, KUHP, Omnibus Law dalam cluster Cipta Kerja. Kita bisa melihat bahwa isu nasional hari ini adalah produk hukum yang cacat,” ucapnya lagi.
Firmansyah menguraikan dalam Pasal 1 Ayat 3, disebutkan Indonesia adalah negara hukum dan kiblat hukum Indonesia adalah civil law, warisan dari zaman kolonial. Lalu berbicara sistem hukum lainnya, adalah common law yang menyerap dari Amerika.
“Artinya sejak kita berkiblat dengan satu sistem hukum civil law, dimana terkait sistematika pembentukan peraturan perundangan-undangan, diatur dalam UU No 12 tahun 2011, berbicara aturan pembentukan perundang-undangan. Sudah jelas bagaimana teknis pembentukan produk hukum,” katanya lagi.
Dan juga berpijak pada momentum bulan Mei, bulan kebangkitan nasional, bulan Mei juga menjadi awal pertama kalinya Pancasila dihantarkan pada Sidang pertama BPUPKI.
“Artinya di UU pun kita membahas, bahwa pada Pasal 2, Pancasila adalah sumber dari segala hukum. Itu harapannya, itu kekuatannya yang kita miliki untuk memfilter seluruh pasal yang tidak pro pada rakyat,” tegasnya.
Selanjutnya, Firmansyah juga menyampaikan terkait UU P3, yang merupakan batu uji bagi Omnibus Law, batu uji bagi Ciptaker.
“2020 kita pantik demonstrasi besar di Indonesia secara nasional dan juga kita yang telah berkorban keringat, air mata, darah bahkan nyawa. Tahun 2020, ada lima teman yang berkorban diri untuk negara ini. 2021, MK menyatakan UU Ciptaker itu cacat formil, inkonstitusional bersyarat, artinya ada yang tidak sesuai dengan proses pembentukan Ciptaker. Batu ujinya adalah UU P3. Celakanya, UU P3 dimasukkan dalam prolegnas tahun 2022. Sudah ada niat yang tidak baik dari pemerintah di saat kajian, saat analisa Ciptaker bahwa multisubstansial-nya tidak berpihak kepada rakyat. Muatannya adalah penyakit karena tidak pro pada rakyat, tidak sesuai harapan rakyat,” tuturnya menggelegar.
Saat UU P3 dimasukkan ke Prolegnas untuk direvisi, tambahnya, maka UU P3 akan dilemahkan, untuk omnibus law-omnibus law berikutnya tidak memiliki batasan untuk disahkan. Ia menyatakan hal tersebut sangat bahaya.
“2022, UU P3 resmi menjadi UU No 13 tahun 2022. Perubahan kedua, di saat ada UU penyakit, UU ciptaker tetap dimasukkan dan UU imunitas, pelindung terakhir bagi rakyat untuk memfilter segala kepentingan ini dilemahkan. Sama artinya dengan pemerintah lebih memilih untuk melemahkan dirinya dibandingkan menguatkan dirinya. Ini fakta yang terjadi hari ini,” tuturnya lagi.
Terkait Dwifungsi ABRI, Firmansyah menyampaikan harapannya, bahwa mahasiswa masih merupakan elemen yang memastikan bahwa TNI masih tentara rakyat.
“Harapannya! TNI masih lah tentara rakyat Indonesia. Saat tidak seperti itu, maka itu akan menjadi kemunduran nyata dan jelas dari amanat reformasi,” ungkapnya.
Terakhir, Firmansyah mengingatkan tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang memiliki dasar hukum Tap MPR 11 tahun 1998.
“Semestinya, jika kita berbicara hirarki, maka TAP MPR itu merupakan rahim dari UU Tipikor. Tapi pada tahun 2019, UU Tipikor dilemahkan dan menghambat kinerja KPK dalam menyelesaikan kasus-kasusnya maka sebenarnya yang terjadi, UU Tipikor sudah sangat jauh dari rahimnya dan jauh dari amanat reformasi. Sudah bergeser jauh. Jika bicara KKN saat ini, ada kesalahan di sistemnya, bukan berbicara aktor,” kata Firmansyah lagi.
Saat ini, menurutnya, Indonesia juga mengalami krisis kepemimpinan.
“Di mana, tak ada pemimpin yang dapat kita titipkan amanat kepentingan rakyat Indonesia. Ada yang tidak sesuai dengan sistemnya, yaitu sistem hukum dan sistem pemerintahan, yang telah banyak diotak atik oleh banyak kepentingan,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena