NEGARA memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-langkah efektif dalam mengatasi terorisme, guna memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warganya. Terkait dengan hal itu, Presiden Joko Widodo menggagas untuk merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, sebagai upaya pemerintah untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan penindakan terorisme, khususnya pasca-serangan Bom Sarinah.Â
Gagasan ini rencananya akan dituangkan melalui pengajuan RUU tentang Perubahan atas UU No. 15/2003. Melihat wacana yang berkembang, khususnya terkait materi revisi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memandang terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan ini.
‎Pertama, RUU Perubahan UU Tindak Pidana Terorisme ini harus mampu memberikan definisi yang jelas akan makna terorisme itu sendiri. Saat ini definisi terorisme tersebar dalam sejumlah instrumen internasional, seperti Declaration on Measures to Eliminate International Terrorism 1994, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1566 (2004), International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, hingga International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, yang juga telah diratifikasi dalam hukum nasional Indonesia.Â
Rujukan akan definisi terorisme yang saat ini termuat dalam UU Tindak Pidana Terorisme nyatanya masih belum sesuai dengan standar internasional yang berlaku. Sehingga, revisi akan konsep terorisme itu sendiri menjadi mutlak diperlukan ke depannya.‎
Kedua, wacana untuk memperluas kewenangan kepolisian untuk memperpanjang waktu penangkapan seseorang yang diduga melakukan tindakan terorisme. Ketentuan yang berlaku saat ini memungkinkan 7 hari (maksimal) durasi penangkapan (incommunicado detention). Wacana yang berkembang saat ini, durasi tersebut dinilai tidak cukup bagi pihak kepolisian untuk mengumpulkan bukti, sehingga digagas menjadi 20 hari.Â
Hal ini jelas bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional yang melarang penahanan secara sewenang-wenang (arbitrary detention), sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Komentar Umum 35 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa konsep “arbitrary†ini dapat diukur dari alasannya (reasonableness), urgensitas (necessity) dan proporsionalitas (proportionality). Penahanan terhadap terduga teroris selama 20 hari jelas tidak proporsional karena hal tersebut bukanlah suatu less intrusive measures.‎
Jika peningkatan masa penangkapan dan penahanan ini disetujui bukan tidak mungkin terduga teroris ini akan menghadapi penyiksaan selama fase interogasi, bahkan tak jarang berujung pada kematian atau penghilangan paksa, sebagaimana diakui oleh Pelapor Khusus PBB untuk Counter-Terrorism, Ben Emmerson.Â
Oleh karena itu, jaminan perlindungan hak-hak sipil terduga teroris selama masa penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2)-(4) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik harus pula dipenuhi. Dalam konteks ini segala macam informasi terkait penahanan terhadap terduga teroris tersebut mutlak dibuka kepada publik atas dasar “right to truthâ€, artinya semua orang berhak mengetahui segala informasi terkait proses penahanan tersebut.‎
Ketiga, selain masalah penangkapan dan penahanan, wacana lain yang berkembang adalah terkait dengan penguatan kewenangan surveilans (surveillance), baik dalam bentuk pemantauan, penyadapan, maupun intersepsi komunikasi. Wacana pemberantasan terorisme secara global memang telah menaikkan tren penggunaan metode-metode surveilans untuk menangkal penyebaran aksi-aksi terorisme.Â
Kekhawatirannya, jika rencana perubahan UU Tindak Pidana Terorisme Terorisme benar-benar dilakukan, hal ini akan menjadi legitimasi untuk meletakkan seluruh data privasi warga negara di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah/keamanan, dengan alasan untuk mencegah aksi-aksi teror terjadi lagi. Melalui praktik ini, pemerintah/aparat keamanan memperoleh akses yang sangat luas untuk mengetahui riwayat hidup seseorang, melakukan kontrol terhadap populasi masyarakat tertentu dan mampu bertindak agresif terhadap populasi dengan identitas privasi yang tidak dikehendaki.Â
Hal ini jelas menjadi ancaman serius bagi kelangsungan komitmen masyarakat internasional untuk melindungi hak atas privasi setiap warga negara.‎
Martin Scheinin, salah satu Pelapor Khusus PBB untuk Counter-Terrorism, pada 2009 menyatakan bahwa tren penggunaan surveilans atas nama pemberantasan terorisme telah secara sistematik dan masif menimbulkan efek samping, seperti: (1) menimbulkan ketakutan yang luar biasa (chilling effect) terhadap penikmatan kebebasan berekspresi dan berpendapat; (2) terancamnya hak untuk berserikat dan berkumpul; (3) tidak bebasnya seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (freedom of movement); dan (4) berpeluang besar menimbulkan miscarriage of justicedan pelanggaran terhadap fair trial.Â
Oleh karena itu, Scheinin menekankan lima prinsip penting yang harus menjadi dasar dalam pembentukan regulasi pemberantasan terorisme, yaitu: (i) prinsip campur-tangan yang minimal (minimum intrusiveness); (ii) prinsip penggunaan data-data pribadi secara terbatas; (iii) prinsip pengawasan dan pengaturan terhadap pengaksesan data-data privasi; (iv) prinsip keterbukaan dan kejujuran atau integritas; dan (v) prinsip modernisasi secara efektif.‎
Memerhatikan berbagai standar dan kewajiban internasional hak asasi manusia di atas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), merekomendasikan kepada pemerintah beberapa hal berikut ini:
1. UU Tindak Terorisme yang berlaku saat ini sesungguhnya sudah sangat cukup sebagai acuan di dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, kalau pun dilakukan perubahan semestinya dijadikan ruang untuk memastikannya selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia;
2. Mendorong penguatan fungsi koordinasi antar-seluruh instansi pemerintah yang terlibat dalam pemberantasan terorisme, baik fungsi pencegahan, deteksi dini, penindakan, penegakan hukum, dan rehabilitasi, sehingga terintegrasi satu sama lain;
3. Pemerintah menjamin hak atas rasa aman setiap warga, dengan mengoptimalkan seluruh perangkat, instrumen, dan sumberdaya yang dimiliki, tanpa menciderai kewajiban perlindungan terhadap hak asasi manusia;
4. Menolak seluruh usulan yang terkait dengan penambahan kewenangan penangkapan/penahanan dan surveilans (pemantauan/penyadapan/intersepsi komunikasi), yang tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia‎
Oleh‎ Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif ELSAM‎