KedaiPena.Com – Hingga hari ini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan.
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016, posisi perempuan masih dilekatkan pada pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan.
“Artinya menihilkan peran perempuan di sektor perikanan yang sangat signifikan,” kata Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan di Jakarta, ditulis Jumat (7/4).
Tidak adanya pengakuan dalam regulasi nasional ini diperparah dengan tidak adanya upaya afirmasi dalam kebijakan teknis. Misalnya dalam proyek reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender ataupun analisis potensi dampak yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
“Hal ini mengindikasikan, bahwa negara belum memenuhi kepentingan perempuan nelayan di 10.666 desa pesisir di Indonesia,” sambungnya.
“Pemerintah harus memastikan perlindungan kepada nelayan tradisional beserta dengan pekerja perikanan baik laki-laki maupun perempuan,” tegas dia.
Pemerintah harus mengakui identitas perempuan nelayan sebagai bagian dari subyek nelayan tanpa embel-embel yang mendomestifikasi perempuan pekerja perikanan.
“Pemerintah pun wajib melindungi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dari kepentingan investasi untuk merampas dan mengkomodifikasi sumber daya untuk kepentingan segelintir,” lanjut dia.
“Tolak segala bentuk perampasan sumber daya perikanan dengan kedok konservasi berbasis utang. Upaya pemberantasan praktek IUU Fishing seharusnya dilakukan secara komprehensif, mulai dengan melakukan revisi terhadap kebijakan yang lemah, serta memperkuat koordinasi antara-lembaga dan menghilangkan ego-sektoral,” ia melanjutkan.
“Implementasikan mandat Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas