MEMPEKERJAKAN anak atau menjadikan anak sebagai buruh anak sesungguhnya dilarang. Terlebih pada jenis pekerjaan yang dipandang amat buruk dan berbahaya bagi anak.
Diketahui, Indonesia sudah sejak lama meratifikasi Konvensi ILO 138 tahun 1973 melalui Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja).
Dan juga meratifikasi Konvensi ILO 182 dengan mengesahkan UU No.1 tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO 182, ada empat bentuk pekerjaan terburuk yang terlarang bagi anak kurang dari 18 tahun, yakni:
1) segala perbudakan atau menyerupainya, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon, dan perhambaan, serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan paksa anak untuk dilibatkan dalam konflik bersenjata;
2) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk dilacurkan, produksi pornografi atau pertunjukan porno;
3) penggunaan anak untuk kegiatan melawan hukum, seperti bisnis narkoba;
4) pekerjaan yang tempat kerjanya berbahaya bagi kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Rencana Aksi Nasional Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak pun telah disusun lewat Kepres No.59 Tahun 2002. Di situ dirinci empat pekerjaan terburuk itu ke dalam 13 katagori, yakni:
1) anak yang dilacurkan;
2) anak yang bekerja di tambang;
3) anak yang bekerja jadi penyelam mutiara;
4) anak yang bekerja di sektor konstruksi;
5) Anak yang bekerja di jermal;
6) Anak yang bekerja jadi pemulung sampah;
7) Anak yang dilibatkan pada produksi dan kegiatan memakai bahan peledak;
8) Anak yang bekerja di jalan;
9) anak yang bekerja jadi pembantu rumah tangga;
10) Anak yang bekerja di industri rumah tangga;
11) Anak yang bekerja perkebunan;
12) anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu;
13) Anak yang bekerja di industri kimia atau yang memakai bahan kimia.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) pun telah meluncurkan program zona bebas pekerja anak (zero child labor programme). Di banyak wilayah yang memiliki sentra-sentra industri telah mmenerapkan program ini. Lewat program inii diharapkan Indonesia pada 2022 tidak ada lagi perusahaan yang memperkerjakan anak.
Program bebas pekerja anak itu tentu harus ditopang dengan pengawasan yang baik oleh pemerintah daerah setempat dan masyarakat setempat, Pengawasan itu seiring dengan terus semangatnya masyarakat setempat mendorong pemerintah daerahnya menggenjot tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut, dan terus menggenjot angka partisipasi sekolah usia anak. Sehingga bisa untuk lebih memastikan tidak adanya pekerja anak di daerah tersebut.
Namun sejauh ini, seluruh instrumen perundang-undangan yang ada terkait pekerja anak, termasuk yang ada dalam UU Ketenagakerjaan. sepertinya masih belum cukup mampu menghalau secara signifikan kemungkinan anak-anak terlibat atau dilibatkan dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk dan dilarang, terlebih pada pekerjaan di sektor informal.
Data terbaru paling segar dan kredibel yang mendekati angka sebenarnya dari anak-anak yang terlibat atau dilibatkan dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, memang belum tersedia. Namun pada tahun 2009, terdapat 985 ribu anak usia 5-14 tahun yang bekerja pada kondisi yang berbahaya, setidaknya menurut hasil Survei Pekerja Anak kerjasama antara BPS dengan ILO (International Labour Organization). Dalam bekerja, menurut survei tersebut, anak-anak itu berinteraksi dengan hal-hal yang membahayakan dirinya. Seperti peralatan dan mesin berbahaya, debu, uap panas, cuaca esktrim, ketinggian, bahan kimiawi, ketinggian berbahaya, dan sebagainya.
Namun diluar dari data yang tersedia itu, saya dan mungkin juga Anda, masih sering melihat, misalnya anak-anak yang menjadi pengemis ataupun pengamen di jalan-jalan yang penuh polusi dan kendaraan membahayakan keselamatanya. Masih sering terlihat gadis-gadis di bawah umur dengan dandanan menor, seakan melampaui usia sebenarnya, dalam bisnis prostitusi anak di warung remang-remang, di bar-bar atau diskotik atau karaoke, maupun di pinggiran rel kereta.
Juga fenomena anak-anak yang menjadi pemulung dan mengais-ngais sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Yang mengkhawatirkan, sebagaimana kasusnya telah banyak diungkap media adalah kasus-kasus pelibatan anak dalam bisnis narkoba, pornografi anak, dan perdagangan orang.
Dan tentunya banyak lagi contoh lainnya yang mungkin saja justru ada di sekitar kita tapi belum terungkap, yang mana hal itu setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa tidak sedikit anak yang belum terbebas dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk dirinya.
Latar belakang anak-anak yang terjebak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk pun sepertinya saat ini lebih variatif. Tidak hanya anak-anak dari kalangan keluarga miskin di desa maupun di kota, melainkan juga dari kalangan keluarga yang secara ekonomi jauh lebih mampu.
Untuk itu, tidak bisa tidak, pemerintah pusat dan pemerintah daeah sebagai pihak yang memiliki infrastuktur dan anggaran yang paling memungkinkan, agar terus melalukan langkah-langkah nyata berupa penarikan sekaligus pencegahan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Anak-anak itu harus dipastikan memperoleh pendidikan dalam bentuk wajib belajar 12 tahun, baik itu melalui pendidikan formal di sekolah, pesantren, maupun home schooling. Tentu langkah-langkah nyata dari pemerintah itupun harus melibatkan masyarakat yang peduli pada penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Setidaknya ada beberapa program yang menurut saya dapat menopang secara sinergis agenda penghapusan pekerjaan terburuk untuk anak, khususnya dari anak-anak keluarga miskin, diantaranya adalah:
Pertama, perluasan yang lebih massif lagi pada akses program Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada lebih banyak keluarga miskin dan keluarga yang rentan menjadi miskin.
Kedua, program pembinaan terhadap anak-anak penerima KIP yang mampu menggenjot rasa percaya diri, harga diri motivasi mereka untuk maju dan berprestasi. Program ini dilakukan dengan pemikiran tidaklah cukup dengan pemberian KIP semata sekalipun sasarannya diperluas. Sebab tak sedikit kasus anak-anak yang memperoleh KIP ternyata akhirnya berhenti sekolah.
Untuk itu diperlukan sebuah program pembinaan terhadap anak-anak penerima KIP yang mampu menggenjot rasa percaya diri, harga diri motivasi mereka untuk maju dan berprestasi. Tak cukup jika anak-anak penerima KIP itu dilepaskan begitu saja, tanpa adanya program pembinaan yang mampu “menghebatkan” anak-anak itu pada aspek mental, spiritual, skill, dan intelektual.
Ketiga, program peningkatan taraf perekonomian keluarga, yang memberikan pembinaan dan pelatihan peningkatan kapasitas ekonomi keluarga kepada keluarga miskin dan nyaris miskin yang anak-anaknya menerima KIP. Hal ini penting untuk memastikan anak-anak mereka benar-benar tetap bisa sekolah tanpa harus bekerja membantu orang tuanya.
Keempat, memberdayakan, memperbanyak, sekaligus meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga sosial yang ada melalui pelatihan-pelatihan konseling dan terapis, sehingga lembaga-lembaga sosial itu mampu menyelenggarakan fungsi rehabilitasi dan pemberdayaan sampai tuntas terhadap kasus-kasus anak yang terjebak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk.
Kelima, menstimulus terbentuknya ROS Simpatik RT/RW (Relawan Orangtua Sosial Simpul Perlindunga Anak Tingkat RT/RW) di seluruh wilayah Indonesia. ROS Simpatik RT/RW ini, selain harus dibekali pemaman tentang hak-hak anak dan isu-isu perlindungan anak secara utuh, juga harus dibekali dengan keterampilan konseling maupun terapi pemulihan terhadap anak-anak yang menjadi korban pelanggaran hak-hak anak. Termasuk korban pelibatan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Tentu semua itu tergantung dari ada atau tidaknya, “greget” atau tidaknya, political will dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang didukung oleh semangat seluruh elemen masyarakat untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Untuk itu, meski peringatan Hari Dunia Menentang Buruh Anak (World Day Againts Child Labour) masih sebulan lagi pada 12 Juni nanti, namun melalui momentum Hari Buruh Internasional 1 Mei hari ini, mari kita turut pula menggemakan pula desakan percepatan penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dari Bumi Nusantara.
Salam Anak Nusantara.
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), mahasiswa program pasca sarjana Univertas Prof DR Moestopo