Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Makar atau kudeta dapat diartikan merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah secara paksa, sering kali melibatkan kekerasan senjata. Pemimpin kudeta biasanya akan menjadi penguasa berikutnya.
Sedangkan people power atau revolusi adalah upaya mengganti pemerintahan tirani. Yaitu pemerintahan yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya, pemerintahan yang melanggar konstitusi dan kedaulatan rakyat. Pemerintahan seperti ini tidak ada legitimasi di hadapan rakyat.
Ketika people power berhasil menggulingkan pemerintahan tirani, pemimpin people power umumnya tidak menjadi pengganti penguasa. Artinya, people power atau revolusi bukan untuk kepentingan pribadi tetapi demi kepentingan rakyat banyak.
Sebagai contoh, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776 secara eksplisit menegaskan, rakyat Amerika Serikat berhak mengganti pemerintah yang melanggar konstitusi, untuk membela dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Karena pemerintah dibentuk untuk menjamin hak dasar manusia dan hak-hak konstitusi lainnya. Pemerintah wajib menjalankan tugas dan kekuasaan yang diberikan kepadanya secara adil bagi seluruh rakyat Amerika Serikat. Apabila pemerintah melanggar tujuan-tujuan tersebut, artinya melanggar konstitusi, maka rakyat Amerika Serikat mempunyai hak untuk mengganti pemerintah ….:
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.—That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed,That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government, laying its foundation on such principles and organizing its powers in such form, as to them shall seem most likely to effect their Safety and Happiness.”
John Locke (1632-1704), filsuf terkemuka asal Inggris, juga menyatakan, pemerintah dibentuk oleh rakyat, dan harus senantiasa melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai konstitusi.
Kalau pemerintah melanggar Konstitusi, dan bertindak melawan kepentingan rakyat, maka rakyat dapat dan *wajib* menggantinya, sekalipun harus melalui jalan revolusi. Hal ini yang diartikan sebagai kedaulatan ada di tangan rakyat.
Di Indonesia, pelanggaran konstitusi termasuk kategori pengkhianatan kepada negara, dan karena itu tidak memenuhi kriteria sebagai (calon) pejabat negara, khususnya (calon) presiden atau wakil presiden.
Hal ini dituangkan di dalam pasal 169 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 169 mengatur kriteria atau persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Huruf d berbunyi: tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah
melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
Penjelasan pasal 169 huruf d mengatakan, yang dimaksud dengan “tidak pernah mengkhianati negara” adalah ….., serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, secara otomatis pelanggar konstitusi tidak bisa menjadi pejabat negara, tidak bisa menjadi presiden atau wakil presiden, atau pejabat negara lainnya.
Artinya, pejabat publik yang melanggar konstitusi harus turun dari jabatan publik, atau diturunkan secara paksa oleh rakyat sepanjang diperlukan. Menurut konstitusi Amerika Serikat, atau menurut John Locke, people power atau revolusi melawan tirani pelanggar konstitusi adalah sah.
[***]