KedaiPena.com – Tak jarang, jika tak bisa disebutkan sering, perbedaan selalu terjadi saat penentuan awal bulan Ramadhan dan hari Lebaran. Dan tahun ini pun terjadi lagi. Terjadi perbedaan awal Ramadhan, walaupun sepertinya akan merayakan Idul Fitri bersama.
Alumni Pesantren Persatuan Islam (persis) 01 Bandung, Ustadz Muhammad Ramdlan atau sering dipanggil UMR menyatakan perbedaan awal bulan qamariyah yang terjadi di masyarakat bukan disebabkan karena berbeda cara menghisabnya.
“Tetapi justru disebabkan karena perbedaan kriteria dari masing-masing golongan. Ada golongan yang berpegang teguh pada rukyah atau golongan ahli rukyah dan ada pula golongan yang berpegang teguh pada hisab atau golongan wujud al-hilal,” kata UMR saat dihubungi, Senin (25/4/2022).
Ia menjelaskan di Indonesia setidaknya ada dua kriteria dalam metode hisab yang dianut yaitu pertama, berdasarkan kriteria wujûd al-hilâl, yaitu kondisi bulan yang telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Organisasi Muhammadiyah.
“Kedua, kriteria imkân al- ru’yat yang menentukan awal bulan hijriyah berdasarkan pada perkiraan mungkin tidaknya hilâl di-ru’yah. Kriteria ini digunakan antara lain oleh Organisasi Persis (Persatuan Islam),” urainya.
Kedua ormas Islam tersebut, lanjutnya, sama-sama menggunakan metode hisab tanpa perlu menanti pelaksanaan ru’yah dengan menggunakan dalil naqli yang tidak jauh berbeda.
“Secara substansial keduanya menganggap hisab bisa menggantikan ru’yah, walaupun penafsiran hasil hisab-nya bisa berbeda,” urainya lagi.
Penetapan kriteria wujûd al-hilâl oleh Organisasi Muhammadiyah sudah diputuskan sejak tahun 1969 dengan dasar bahwa di Indonesia belum ada kriteria yang sahih secara ilmiah bagi imkân al-ru’yah walaupun selama ini berdasarkan data kesaksian rukyatul hilâl yang dikumpulkan oleh Kementerian Agama bahwa ketinggian hilâl minimum yang berhasil diru’yah adalah 2 derajat.
“Akhir-akhir ini, kriteria ketinggian tersebut digugat sebagai tidak akurat dan tampaknya bukan hasil pengukuran ketinggian melainkan dihitung dengan rumus sederhana: tinggi “hilâl” = (beda waktu antara mulai teramati sampai menghilang) dibagi 24 jam dan dikali 360 derajat, padahal tidak ada konfirmasi benar tidaknya “hilâl” itu, mungkin juga adalah objek terang yang lain,” kata UMR menjelaskan.
Bahkan, ia melanjutkan, berdasarkan statistik kesaksian hilâl di berbagai negara, International Islamic Calendar Program (IICP) telah mempublikasikan temuannya di jurnal astronomi bahwa ketinggian minimal hilâl dapat diru’yah adalah 4 derajat. Itu pun bila jarak bulan-matahari cukup jauh. Bila jaraknya dekat, perlu ketinggian 10,5 derajat.
Di samping temuan tersebut, ada juga penelitian teoritik yang menjelaskan batas minimal visibilitas hilâl. Kemampuan mata manusia untuk melihat benda langit terbatas hanya sampai keredupan 8 magnitudo dalam skala astronomi. Kalau pun melihatnya dari antariksa, batas kemampuan mata manusia itu tidak berubah. Dengan kemampuan deteksi mata manusia seperti itu, pada jarak matahari-bulan kurang dari 7 derajat, cahaya hilâl tidak akan tampak sama sekali.
“Di Indonesia, sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja apabila dilihat dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam, yakni hisab ‘urfi dan hisab haqiqi,” ungkapnya.
Hisab ‘urfi adalah sistem hisab penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan pada waktu rata-rata peredaran bulan. Hisab haqiqi adalah sistem hisab penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi sebenarnya.
Hisab ‘urfi dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh pemikiran hisab ru’yah madzhab tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem aboge dan sistem asapon.
Sedangkan sistem hisab haqiqi dapat dilihat dari pendirian yang mendasarkan pada ijtima’, yakni sistem yang berpendapat bahwa hakikat bulan qamariyah dimulai sejak terjadinya ijtima’. Hal ini dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah ijtima’ al-nayyiraian itsbatun bayn al-syahrain, dan ini sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months.
“Oleh karena ijtima’ itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi. Maka waktu ijtima dapat dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima’ bisa terjadi pada pagi hari di suatu tempat dan di saat yang sama terjadi pada siang hari atau malam hari di tempat lain,” ungkapnya lagi.
Karena itu, kata UMR, dalam praktiknya awal bulan qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima’ yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan cara pandang tentang kapan dimulainya hari. Sistem inilah yang dipakai oleh Muhammad Mansur dalam kitab Sullam al- Nayyirayn. Sistem ini sampai sekarang mengkristal dalam madzhab kecil, yaitu kalender Manshuriyah, yang sering dijadikan kiblat oleh kalangan ahli hisab Jawa Timur.
Adapun metode-metode yang digunakan dalam madzhab hisab hakiki diantaranya, yaitu pertama, metode hisab haqiqi taqribi. Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Bek dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola (spherical Trigonometry).
Kedua, metode hisab haqiqi tahqiqi. Metode ini dicangkok dari kitab al-mathla’ al-sa’id ala al-rushd al-jadîd yang berakar dari sistem astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari sistem hisab astronom- astronom muslim tempo dulu dan telah dikembangkan oleh astronom-astronom modern berdasarkan penelitian baru. Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan dan titik simpul orbit bulan dan orbit bumi dalam sistem koordinat ekliptika.
“Karena itu, sistem ini menggunakan tabel-tabel yang telah dikoreksi dan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada kelompok hisab haqiqi tahqiqi serta memakai ilmu ukur segitiga bola,” tuturnya.
Ketiga, metode hisab haqiqi kontemporer. Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab haqiqi tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
“Rumus-rumusnya lebih disederhanakan sehingga untuk menghitungnya dapat menggunakan kalkulator atau komputer. Metode hisab inilah yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam menentukan awal Ramadhan,” pungkasnya.
Laporan: Natasha