KedaiPena.Com – Ketergantungan masyarakat Indonesia akan konsumsi beras masih cukup tinggi. Hal tersebut menjadi masalah untuk mewujudkan hadirnya ketahanan pangan di republik ini.
Memang, berdasarkan data Kementan, hingga tahun 2017 tren konsumsi beras nasional terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010, konsumsi beras di Indonesia mencapai 130 kilogram per kapita per tahun, dan tahun 2014 mencapai 124 kilogram per kapita per tahun, kemudian tahun 2017 mencapai 117 kilogram per kapita per tahun.
Tapi, angka tersebut masih jauh di atas konsumsi negara-negara Asia, seperti Korea Selatan 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 80 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 70 kilogram per kapita per tahun.
Berbagai cara sebenarnya sudah dilakukan salah satunya ialah memunculkan bahan alternatif pangan selain beras. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup berhasil.
Rektor Perbanas Institute, Hermanto Siregar mengakui, banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan bahan pangan alternatif penganti beras kepada masyarakat Indonesia.
Hermanto mengatakan bahwa dari segi teknologi Indonesia sebenarnya sudah jauh sangat siap untuk mengembangkan bahan pangan alternatif selain beras.
Namun demikian, kata Hermanto, masalah budaya atau mindset masyarakat Indonesia masih menjadi kendala untuk mengembangkan bahan pangan alternatif selain beras.
“Itu kita bisa buat beras analog itu bahan bakunya itu dengan sagu, jagung, ubi kayu itu bentuknya sama dan juga kalau skalanya ekonomi cukup besar mesti pasti bisa bersaing dengan harga beras,†ujar Hermanto saat berbincang dengan KedaiPena.Com, ditulis, Sabtu (1/9/2018).
Kemudian, lanjut Hermanto, pengembangan tersebut juga bisa dimulai dengan melakukan edukasi dan sosialisasi secara masif soal keuntungan mengkonsumsi bahan pangan alternatif selain beras.
“Nomor dua kita harus melakukan edukasi dan sosialisasi bahwa makan selain daripada beras itu juga bagus dan justru lebih sehat dari pada beras,†kata Hermanto.
Terakhir, lanjut Hermanto, setiap kantin-kantin baik di sekolah atau lingkungan kantor mulai menyedian bahan pangan alternatif tersebut.
“Yang ketiga ialah setiap kantin bisa mulai menjual dan menyediakan itu. Bisa dimulai dari sekolah-sekolah. Kenapa sekolah, karena kebiasaaan makan nasi dimulai dari SD sampai SMP. Jadi beras yang dikonsumsi sedikit, lalu tinggal dibanyakin bahan pangan alternatif seperti sagu atau jagung,†ungkap Hermanto.
Mantan Pengurus di Komite Ekonomi Nasional (KEN) ini pun berharap dengan hal tersebut konsumsi beras masyarakat Indonesia akan berkurang. Sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan serta turut berdampak baik kepada kesehatan masyarakat Indonesia.
Laporan: Muhamamd Hafidh