SEPERTI diberitakan di berbagai media, pada awal bulan September (2/9/2019) perwakilan Bank Dunia menemui Presiden Jokowi. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan Bank Dunia mengungkapkan kepada Jokowi bahwa potensi terjadinya resesi dalam perekonomian global sangatlah besar.
Maka itu, Bank Dunia menyarankan Indonesia perlu terus memonitor dan menyiapkan langkah mitigasi. Mereka merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan (current account defisit) melalui peningkatan investasi asing (FDI).
Karena penasaran dengan detail isi materi yang disampaikan, saya mencari-carinya. Dan sangat beruntung, di salah satu sosial media materi tersebut sudah beredar. Judulnya adalah: Global Economic Risk and Implications for Indonesia. September 2019.
Yang selalu saya kagumi dari Bank Dunia adalah kemampuannya mengumpulkan data, sangat massif dan komprehensif, sehingga saya sering merujuknya di berbagai tulisan. Kita dapat melihat bagaimana di materi presentasi tersebut terdapat berbagai data, salah satunya yang paling menarik adalah sebuah grafik yang menunjukkan tentang investasi asing langsung (FDI) imbas perang dagang yang ternyata tidak menuju ke Indonesia, melainkan ke negara-negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia.
Hanya yang selalu menjadi kelemahan Bank Dunia adalah selalu pada bagian analisa dan rekomendasi. Kita selalu ingat bagaimana rekomendasi Bank Dunia untuk melakukan austerity policy di negara-negara yang tertimpa krisis, seperti contohnya Yunani, bukannya memperbaiki malah semakin memperburuk situasi ekonomi di negara tersebut.
Adapun, dari materi presentasi Bank Dunia untuk Jokowi, setidaknya ada dua hal dari materi tersebut yang ingin saya soroti dalam tulisan ini.
Pertama, Analisa Bank Dunia bahwa defisit transaksi berjalan dapat menjadi masalah Indonesia memang benar, tetapi sayang sudah terlalu terlambat. Peringatan tentang lampu kuningnya perekonomian Indonesia akibat besarnya defisit transaksi berjalan (termasuk yang terparah di kalangan negara ASEAN), sudah sering disampaikan terbuka oleh ekonom senior Rizal Ramli semenjak dua tahun yang lalu.
Saat itu para ekonom di Pemerintahan Jokowi dan Bank Dunia mengabaikan peringatan ini. Baru dua tahun setelahnya mereka semua sadar bahwa defisit transaksi berjalan Indonesia memang bermasalah.
Kedua. Rekomendasi Bank Dunia untuk memperbaiki masalah defisit transaksi berjalan Indonesia dengan meningkatkan investasi asing (FDI) tidaklah 100% tepat dan tidaklah praktis. Alasannya adalah Indonesia baru akan dapat menjadi tujuan investasi asing bila pemerintah berhasil memacu terlebih dahulu pertumbuhan perekonomian nasional hingga di level 6,5%-7%, bukanlah sebaliknya logikanya.
Dan pertumbuhan ekonomi sebesar tersebut hanya dapat dicapai saat ini dengan jalan menggenjot konsumsi masyarakat.
Yang menjadi masalah, jalan ini (menggenjot konsumsi masyarakat) tentu membutuhkan alokasi anggaran pemerintah yang lebih besar dari sekarang. Namun mengingat keterbatasan kemampuan tim ekonomi Jokowi saat ini dalam mengumpulkan penerimaan negara (penerimaan pajak semester I 2019 baru 38% dari target), mungkin akan sangat sulit.
Buktinya, belum-belum menteri keuangan malah sudah berencana untuk melemahkan konsumsi/daya beli masyarakat dengan menaikkan tarif dasar listrik, menaikkan iuran BPJS, dan menaikkan cukai tembakau.
Peningkatan anggaran untuk memacu konsumsi masyarakat juga dapat dicapai dengan jalan mengurangi porsi anggaran pemerintah untuk membayar cicilan utang dan bunganya setiap tahun yang sudah terlalu mencekik (total debt service sudah hampir mencapai 30% dari total APBN).
Namun kita tahu, tidak mungkin menteri keuangan yang sekarang berani melakukan semacam renegosiasi atau refinancing utang berikut bunganya kepada para kreditor, padahal suku bunga di negara kreditor sedang negatif saat ini.
Selain itu juga, ada langkah yang lebih praktis untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, yaitu dengan jalan memperbesar surplus neraca perdagangan. Bila ekspor masih sulit digenjot akibat minimnya FDI, tentu yang harus dilakukan adalah mulai membatasi impor yang ugal-ugalan.
Disebut ugal-ugalan karena sering impor yang dilakukan sifatnya berlebihan dari yang dibutuhkan, dan dalam banyak kasus kebijakan ini merugikan petani nasional (dalam hal impor pangan) dan juga menghancurkan industri nasional (impor baja, tekstil, dan semen).
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan, semisal untuk baja dengan mengenakan tarif anti dumping untuk impor dari Tiongkok. Bukankah dalam pernyataannya belum lama ini Presiden Jokowi juga sebenarnya sudah sadar dan menyesali telah membuka keran impor tekstil terlalu besar di masa lalu.
Oleh Gede Sandra, Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)