edaiPena.com – Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro menyatakan masalah yang dihadapi oleh kelas menengah di Indonesia tidak bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Salah satunya adalah penurunan daya beli kelas menengah dan berkurangnya tabungan.
“Penyelesaian ini kalau ditanya harus jangka pendek, terus terang agak sulit, karena penurunan daya beli ini kan juga bukan proses jangka pendek,” kata Bambang, dikutip Senin (23/12/2024)
Ia menjelaskan, untuk kembali memperbaiki kondisi kelas menengah tersebut memang tak ada cara lain selain menjaga tingkat inflasi bahan pangan bergejolak tidak terus meningkat, supaya daya belinya terjaga. Di sisi lain, mengurangi biaya transportasi yang menjadi kebutuhan pokok mereka untuk mobilitas.
Pengurangan biaya transportasi ini menurutnya tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan subsidi energi pada komoditasnya, karena berisiko besar salah sasaran dan menguras banyak anggaran pemerintah untuk belanja produktif lainnya.
“Satu sisi subsidi BBM tentunya dianggap akan menolong, tapi sudah saatnya juga kita melakukan semacam perubahan bahwa subsidi BBM itu jangan sampai hanya diberikan begitu saja dan akhirnya salah sasaran,” ucapnya.
Ia menyarankan, anggaran subsidi energi yang saat ini bisa hampir tembus Rp500 triliun sendiri dialihkan menjadi tiga bagian. Pertama, untuk subsidi energi hijau untuk mendukung percepatan transisi energi; kedua, subsidi energi untuk investasi di sektor transportasi publik; dan ketiga adalah bantuan langsung berdasarkan satu identitas, seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Khusus untuk pengalihan subsidi energi untuk investasi pada sektor transportasi publik menurutnya akan banyak membantu daya beli kelas menengah.
“Karena saya mendengar cerita langsung dari seseorang yang tinggal kebetulan di Tangsel, Tangerang Selatan, setiap hari harus ke kantornya di Jakarta, di daerah Sudirman, Thamrin itu,” ucapnya lagi.
Mantan menteri keuangan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo itu mengatakan, dengan transportasi publik seperti kereta api, masyarakat kelas pekerja bisa menghemat biaya perjalanannya, dari yang menggunakan kendaraan pribadi bisa di atas Rp50 ribu per hari menjadi hanya Rp4 ribu per hari.
“Jadi bisa terbayangkan betapa pentingnya public transportation untuk jaga daya beli. Dibanding Rp4.000 tadi ya meskipun dengan perasaan kadang-kadang kurang nyaman atau segala macam, tapi baginya yang penting saya bisa bekerja setiap hari,” kata Bambang.
Solusi terakhir, ia mengatakan, pemerintah sudah saatnya memperluas cakupan kebijakan jaring pengaman sosial untuk kelas menengah rentan atau aspiring middle class maupun kelas rentan miskin.
“Jadi saya pelajari di berbagai negara yang sama-sama dengan kita kategorinya emerging markets and developing kunci mereka untuk satu, mengurangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan, itu terletak pada social security sistem yang kuat dan itu harus dimulai bagaimanapun dengan single identity number, hanya itu cara untuk kita bisa menyalurkan bantuan tepat sasaran,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk. Namun, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13 persen.
Pada 2019, jumlah kelas menengah rentan atau aspiring middle class sebanyak 128,85 juta, lalu pada 2021 menjadi 130,82 juta dan pada 2024 menjadi 137,50 juta. Sementara itu, jumlah kelas rentan miskin naik dari 54,97 juta orang, menjadi 58,32 juta orang, dan pada 2024 menjadi 67,69 juta orang.
Laporan: Ranny Supusepa