BANYAK orangtua kewalahan menghadapi permintaan buruk ataupun permintaan mengada-ada dari anaknya. Permintaan buruk atau mengada-ada yang dimaksud di sini adalah permintaan atau sesuatu yang dituntut oleh anak untuk dipenuhi oleh orangtuanya, namun permintaan atau tuntutan itu dalam penilaian orangtua sama sekali tidak bermanfaat, pemborosan, atau belum saatnya dipenuhi.
Bisa juga karena apa yang diminta atau dituntut oleh anak itu dinilai tidak tepat atau tidak benar. Maupun dirasa tidak sepatutnya dari aspek-aspek tertentu, seperti kondisi keuangan orangtua, atau bisa berdampak tidak baik bagi proses tumbuhkembang sang anak itu sendiri, maupun bisa mengganggu kesehatan anak.
Permintaan buruk atau mengada-ada itu bisa berupa minta dibelikan barang atau mainan tertentu, yang jika dibelikan cuma menghambur-hamburkan uang saja, misalnya. Sebab boleh jadi sudah sering dibelikan seperti yang diminta itu, namun dalam waktu sekejap ternyata rusak tidak digunakan lagi.
Atau minta dibelikan makanan atau minuman, yang dipandang oleh orangtua tidak baik dan bisa mengganggu kesehatan anak. Atau permintaan lainnya yang mana orangtua belum sanggup memenuhinya saat itu, dan lain-lain.
Ketika anak meminta dibelikan sesuatu dan tak dituruti orangtua, misalnya, tak sedikit anak yang menangis. Jika dengan menangis ternyata apa yang dimintanya tak juga diberikan orangtua, banyak anak memutar otaknya melakukan ini-itu guna meluluhkan hati orangtuanya agar menuruti keinginannya itu.
Memang, tak sedikit anak yang cenderung untuk terus mengekplorasi dan mengembangkan beragam siasat untuk menaklukan hati orangtua sehubungan permintaannya itu.
Jika saat meminta sesuatu itu ternyata orangtuanya tak menuruti, maka pada banyak kasus, anak pun bersiasat. Bisa dengan menampakkan raut wajah sedihnya, ataupun menangis pada kesempatan itu maupun di waktu yang lain.
Atau mungkin juga dengan berteriak-teriak di depan banyak orang agar orangtua menjadi malu dan akhirnya menuruti keinginan. Ada juga yang uring-uringan sambil memukul-mukul orangtuanya sambil “nangis kimos” maupun “nangis bombai”. Atau dengan menggulingkan-gulingkan diri di lantai atau tanah sehingga jadi perhatian orang.
Pada konteks tersebut, saya ingin sampaikan kepada para orangtua muda dimana pun berada. Bahwa sesungguhnya, mengasuh dan mendidik anak seringkali juga merupakan sebuah pertaruhan penerapan “perang” siasat antara orangtua dengan anak.
Siasat orangtuakah atau justru siasat anak yang dominan berjalan mencapai golnya? Jikapun dikehendaki katakanlah, menghendaki semacam “win-win solution” terhadap permintaan buruk anak, maka ‘win-win solution’ yang seperti apakah itu?
Di sinilah sesungguhnya letak penting visi yang kokoh dari pengasuhan dan pendidikan anak oleh orangtua di rumah. Bahwa visi pengasuhan dan pendidikan anak oleh orangtua didan rumah harus terus dipastikan berproses dan mengarah pada pembangunan karakter mulia dan luhur pada diri anak yang bertabur cinta. Dan memang demikian harapan para orangtua, bukan?
Senjata Orangtua
Dalam menanggapi permintaan buruk anak, maka metode dan teknik orangtua haruslah jauh lebih canggih dalam mengatasi siasat anak. Tentunya dengan tetap berintikan pada cinta, serta mengarah pada pembentukan karakter mulia dan luhur pada diri anak.
Ketika menghadapi permintaan buruk anak, orangtua harus konsisten untuk tidak memenuhinya, meskipun anak merengek-rengek, berteriak-teriak, atau berguling-guling mencari perhatian. Namun, konsistensi sikap itu harus pula “bersenjatakan” pemahaman dan penguasaan orangtua atas konsep dan teknik-teknik penting ilmu keayahbundaan. Diantaranya ‘treatment’, ‘advice’, dan ‘handling’.
‘Treatment’ dalam konteks ini merupakan suatu konsep penanganan masalah yang terkait dengan cara penyelesaiannya dalam rangka mendamaikan, menyelamatkan, ataupun menghentikan perilaku dan perbuatan buruk anak.
Sedangkan ‘advice’ atau nasehat di sini bermakna rumusan pesan bermuatan gagasan ataupun perspektif penyadaran tertentu yang disampaikan kepada anak. Dan ‘handling’ adalah tindakan segera dan bijak yang harus dilakukan saat muncul gejala-gejala awal dari sebuah masalah dalam rangka menghentikan perilaku buruk anak.
Begitu Anda tahu, misalnya, udah masuk waktunya anak untuk belajar, tapi ternyata dia masih melotot asyik nonton TV, maka sebagai orangtua Anda langsung matikan saja TV itu. Sambil senyum padanya dan berkata: “Sekarang jamnya kita belajar. Ayo sayang, belajar bersama ayah!”.
Itulah contoh ‘handling’. Tak butuh nasehat kepadanya saat anak lupa belajar karena keasyikan nonton TV dengan misalnya berkata, “Nonton TV itu tidak baik bagi kesehatan matamu, Nak. Lebih baik belajar daripada nonton TV.”
Perlu diketahui, adakalanya nasehat merupakan bagian dari ‘treatment’. Meskipun nasehat yang baik hanya akan bekerja menjadi sebuah kesadaran, pemahaman, ataupun program pikiran di alam bawah sadar anak ketika nasehat itu disampaikan pada saat yang tepat. Yakni, pada saat situasinya kondusif, ketika gelombang otak anak sudah di fase ‘alpha’ dan ‘tetha’.
Pada fase itulah anak akan lebih mampu mencerna dan menerima nasehat bermuatan pesan-pesan atau perspektif pikiran orangtuanya. Sementara, percuma saja memberikan nasehat pada anak saat kasusnya sedang berlangsung.
Ketika orangtua langsung memberondong anak dengan nasehat saat kasus berlangsung, tanpa lebih dulu ada jeda untuk menurunkan fase gelombang otak anak , maka sebagus dan sehebat apapun konten-konten nasehat itu cuma akan direaksi anak dengan bantahan atau sikap acuh.
Itulah yang menjelaskan, betapa banyak orangtua yang memiliki muatan nasehat yang amat mulia kepada anak, namun lantaran nasehat itu disampaikan pada waktu yang tidak tepat, atau tanpa jeda saat kasus berlangsung, akhirnya membuat nasehat itu “terpental”, atau “masuk kuping kiri keluar kuping kanan”. Atau pura-pura dituruti anak karena mungkin ia takut, tetapi akan diulanginya lagi di lain kesempatan.
Dalam kasus anak yang meronta-ronta minta sesuatu di tempat umum yang tak disetujui orangtua, misalnya, ‘treatment’ untuk hal ini anda harus bisa tetap tenang, tidak emosi, dengan mendiamkan terlebih dahulu beberapa saat sambil memeluknya, misalnya.
Saat memeluknya, anda bisa bisikkan kepadanya sambil mengelus-elus pundaknya, misalnya, “Bunda yakin, anak hebat sepertimu pasti bisa bersikap tenang. Jika kamu tenang, bunda nanti akan jelaskan alasan tak membelikan yang kamu minta itu.”
Jika ternyata ia tetap meronta-ronta, bahkan mungkin semakin menjadi-jadi, yang bisa Anda lakukan adalah dengan merusak polanya. Yakni dengan segera membawa atau memindahkan anak ke tempat lain ataupun membawanya pulang, dan Anda tetap harus tenang mengendalikan emosi.
Lalu di rumah ketika kondisinya sudah kondusif, barulah penjelasan bisa Anda berikan dan nasehat pun bisa dihujamkan. Meski tentu ada teknik menyusun kalimat nasehat yang amat efektif, yang tidak kita bahas di sini karena lebih tepat dibahas di acara pelatihan keayahbundaan yang biasa saya gelar.
Dan bila sejak awal Anda konsisten menolak permintaan buruk dan mengada-ada dari anak, untuk kemudian menjelaskan tujuan penolakan anda saat fase gelombang otaknya telah diturunkan, dan ia pun sadar dan bisa memahaminya, maka saya pikir itulah sesungguhnya ‘win-win solution’ dalam menghadapi permintaan buruk dan mengada-ada dari anak.
Dan yakinlah, Anda bukanlah orangtua yang pelit bin kikir jika Anda tidak memenuhi permintaan buruk dan mengada-ada dari anak Anda.
Semoga bermanfaat. Salam Anak Nusantara.
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Keayahbundaan dan Kota Layak Anak