Artikel ini ditulis oleh Pengamat Militer dan Pertahanan, Wibisono, SH, MH,
Mencermati perkembangan situasi perang Rusia-Ukraina saat ini, memang seharusnya melepaskan diri dari kerangka berpikir ala perang dingin blok barat vs blok timur, maupun demokrasi vs komunis.
Eskalasi situasi yang terjadi, tidak bisa hanya dilihat dari satu faktor saja. Setidaknya ada beberapa rangkaian peristiwa yang menarik untuk dicermati sebelum militer Rusia mulai memasuki wilayah Ukraina.
Sebelumnya, Jerman, Belanda dan Belgia mengalami serangan siber dengan sasaran jalur pengiriman minyak bumi via kapal-kapal tanker. Di mana akibat serangan siber itu, membuat kapal-kapal tanker tersebut teralihkan dari tujuannya, yaitu Pelabuhan Oil Terminal masing-masing negara tersebut.
Peristiwa ini mendapat perhatian khusus dari otoritas masing-masing negara karena dampak serangan tersebut pada cadangan energi masing-masing negara anggota EU tersebut. Serangan siber ini ditenggarai dilakukan dari berbagai lokasi, yaitu Rusia, Ukraina, dan Polandia.
Selain itu, peristiwa ini membawa volatilitas pasar energi yang luar biasa. Harga minyak bumi BRENT dan WTI sudah berada di atas level ± USD 90/ barel. Bahkan kemarin, untuk BRENT sudah mencapai harga ± USD 102/ barel. Harga LNG pun terus melonjak, hingga kini di kisaran ± USD 4.50/ mmbtu dari semula di Kuartal 1 thn 2021 ada dikisaran ± USD 2.76/ mmbtu. Kenaikan LNG ini tentu sangat berdampak pada industri manufaktur Eropa dan pasokan energi ke rumah tangga di Benua Eropa. Terlebih, Rusia itu adalah pemasok 40 persen LNG yang mengalir ke Eropa via Nord Stream.
Alternatif lain yang dilirik oleh negara-negara EU adalah Qatar untuk memasok LNG ke Eropa, tetapi fakta berkata lain. Qatar hanya mampu mengalihkan 15 persen pasokan LNG nya dari kontrak berjangka dengan pasar konvensionalnya, yaitu Korea Selatan, China dan India. Hal ini tentu berdampak pada harga energi di Eropa yang sudah pasti meningkat dan beberapa negara masih menghadapi cuaca dingin.
Pemerintah Ukraina mengesahkan UU tentang Asset Digital. Dimana hal ini sekaligus melegalisasi transaksi crypto currency dan pengakuan aset digital oleh negara. Walaupun tidak mendapat dukungan dari komunitas EU dan AS, Pemerintah Ukraina menggunakan sistem crypto ini untuk menarik kelompok investor jenis baru dan non konvensional untuk peningkatan ekonomi negaranya. Tentunya dengan memanfaatkan layanan cost of money dengan memberikan ekosistem legal bagi crypto currency ini. Hal ini tidak berangkat dari nol, karena memang Ukraina terkenal sebagai salah satu safe heaven untuk melakukan crypto mining, bahkan menjadi wilayah kerjasama dengan Rusia juga di sisi ini. Ukraina mampu tumbuh menjadi wilayah menarik untuk investasi dalam bentuk digital dan ke depannya siap memberikan layanan crypto mining dan cloud.
Apa dampaknya ke Indonesia?
Yang jelas ini bukan pertempuran kita, walaupun tidak berdampak langsung, tapi perlu diwaspadai selama kurun waktu yang singkat kedepan.
1) kenaikan harga pangan. Terutama tepung terigu dimana kita biasa impor dari Ukraina. Jelas pasokan langsung terganggu. Kita net importir gandum. Mie instan, gorengan, kripik dan snack-snack jelas jadi terdampak harganya. Mayoritas UMKM kita dari berbagai skala mikro sampai menengah adalah produsen makanan dan banyak menggunakan terigu ini
2) kenaikan harga energi. Nah, beberapa jenis BBM jelas sudah naik. Dan untuk LNG sebagai kebutuhan industri, dengan kenaikannya yang 100 persen sendiri, tentu akan menekan pemulihan industri kita yang Purchasing Manager Index nya sedang membaik. Jika diberi langkah insentif dengan subsidi LNG, tentu kebijakan ini akan menekan ruang fiskal negara juga. Solusi jangka pendek untuk hal ini bisa diselesaikan dengan menyerap LNG Domestik dan ruang subsidi diberikan disitu. Tentunya dibarengi dengan good will pemerintah menghentikan impor LNG oleh Pertamina di sini.
3) waspada narasi-narasi dengan sentimen SARA dan muatan yang berupa benturan politik identitas. Di dunia maya, sudah banyak sirkulasi foto-foto heroik Presiden Ukraina dan berbagai meme politik yang bisa memancing emosi dan sentimen nasionalisme.
Invasi militer oleh Rusia ke Ukraina tidak bisa dipandang akibat satu klausul saja, karena alasan Ukraina bergabung dengan NATO misalnya. Ada banyak layer yang harus kita waspadai semata-mata untuk memahami posisi Indonesia karena memiliki letak geografis yang sangat strategis penghubung dua samudera, Hindia dan Pasifik. Dan lokasi perebutan teritorialnya saat ini tidak hanya di lautan, justru lebih intens di Antariksa, khususnya di Low Earth Orbit (LEO), tempat satelit-satelit sebagai bagian dari infrastruktur digital beroperasi.
Jadi banyak kepentingan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai proxy.
(###)