Artikel ini ditulis oleh Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero).
Selama beberapa minggu terakhir sejak pertengahan Oktober 2022, skala serangan Rusia terhadap infrastruktur listrik Ukraina telah meningkat secara dramatis. Rusia telah mengalihkan fokus serangan rudal dan drone ke infrastruktur pembangkit listrik di Ukraina, menghancurkan setidaknya setengah dari pembangkit listrik dan mencapai 40 persen dari seluruh sistem.
Inilah babak baru serangan Rusia yang membawa sistem kelistrikan Ukraina dalam kemerosotan tajam saat musim dingin datang.
The Economist, 27 Oktober 2022, melaporkan kota-kota di Ukraina termasuk ibu kota, Kyiv, menghadapi pemadaman yang dapat berlangsung lebih lama dari jadwal yang direncanakan. Pihak berwenang Ukraina mengatakan, hampir 1,5 juta rumah tangga telah dibiarkan hidup tanpa listrik. Di Kyiv, menghadapi defisit listrik lebih 30 persen, yang biasanya mengkonsumsi listrik 1.000-2.000 megawatt (MW), sekarang diperkiraan tinggal 600-800 MW.
Setelah menderita serangkaian kekalahan menyakitkan di medan perang, Rusia telah meningkatkan serangan pada infrastruktur listrik di kota-kota yang jauh dari garis depan. Telah terjadi perubahan strategi yang spesifik, dengan beralih menargetkan serangan pada infrastruktur energi, terutama jaringan listrik.
Penggunaan energi sebagai senjata, sebenarnya bukan taktik baru bagi Kremlin, terutama jika menyangkut Ukraina. Energi selalu menjadi senjata bagi Rusia, dan mengklaim bahwa dengan mengendalikan energi, dapat mengendalikan negara.
Dengan strategi barunya, militer Rusia berharap dapat menghancurkan banyak infrastruktur listrik Ukraina agar hidup rakyatnya menderita, kemudian akan menyalahkan pemerintah mereka. Namun seperti dikemukakan seorang analis di Institute for the Study of War (ISW) di Washington yang dikutip dari www.pbs.org, serangan ini tampaknya hanya teror untuk mencoba mengintimidasi penduduk Ukraina.
Infrastruktur Listrik
Mengapa infrasrtuktur listrik menjadi fokus sasaran penting di medan peperangan. Thomas E. Griffith, seorang mayor Angkatan Udara Amerika Serikat, memberi empat alasan konvensional yang mendukung penyerangan sistim kelistrikan nasional memiliki efek yang luas pada berbagai institusi. Dalam penelitiannya, Strategic Attact of National Electrical Systems (1994), empat alasan itu dibagi menjadi dua kategori besar, yakni sektor sipil dan militer.
Pertama, dampak politik yang diyakini akan menurunkan moral warga sipil, sehingga memaksa perilaku pemerintah berubah. Kedua, serangan itu akan menimbulkan kerugian bagi para pemimpin politik suatu negara yang menyerang.
Dari segi militer ada dua dampak penting yang bisa disebutkan, baik hilangnya kekuasaan akan berdampak langsung pada kekuatan militer yang berperang, atau akan menyebabkan pengurangan produksi perang.
Namun dari keempat alasan itu, menurut Griffith, tidak satu pun argumen yang masuk akal. Serangan tehadap infrastruktur listrik untuk menurunkan moral sipil belum efektif mengubah perilaku politik.
Upaya untuk mempengaruhi pemerintah dengan menargetkan sistem kelistrikan nasional juga tidak efektif, karena para pemimpin sebagian besar rezim umumnya memulai tindakan dengan tekad yang tinggi, tidak mau mengubah kebijakannya hanya karena kehilangan daya listrik.
Seperti yang terjadi di Ukraina, respon Presiden Volodymyr Zelensky malah seperti mendapat suntikan untuk mengobarkan semangat dan menaikan moril penduduknya menghadapi serangan Rusia. Zalensky mengatakan, tidak ada ruang tersisa untuk negoisasi dengan rezim Vladimir Putin. Rakyat Ukraina akan menempuh jalan panjang berbekal lilin, senter, selimut, dan peralatan seadanya untuk mempertahankan tanah airnya.
Dalam beberapa kasus, para pemimpin politik dan kekuatan militer siap menghadapi kemungkinan seperti itu, terisolasi dengan jaringan listrik nasional dan dapat bertahan dengan baik. Sebaliknya, dalam perang yang berkepanjangan menyerang tenaga listrik bisa dianggap strategis, dan efektif untuk memperlambat produksi material perang.
Namun dalam perang yang terbatas, produksi perang tidak akan menjadi faktor penting.
Bahkan ada beberapa kelemahan menyerang listrik, termasuk dampak kematian dan korban warga sipil, serta potensi kecaman dari dunia internasional.
Dalam kasus Ukraina, negara-negara Barat menyatakan serangan Rusia itu sebagai kejahatan perang. Mereka telah berjanji memberikan lebih banyak bantuan ke Ukraina, terutama peralatan pertahanan udara, dan akan mempertimbangkan sanksi baru kepada Iran, yang memasok drone “kamikaze” ke Rusia untuk menyerang listrik Ukraina.
Kejahatan Perang
Pembangkit tenaga listrik pada umumnya diakui cukup penting bagi kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan komunikasi, transportasi, dan industrinya pada masa perang, sehingga biasanya memenuhi syarat sebagai tujuan militer selama konflik bersenjata.
Serangan terhadap sistem kelistrikan telah lama menjadi bagian dari perang modern. Pada Perang Dunia (PD) I, infrastruktur listrik telah menjadi target serangan Zeppelin.
Sistem kelistrikan menjadi target favorit kekuatan udara sejak Air Corps Tactical School (ACTS), mempertimbangkan sistem target ini pada 1930-an. Sejak itu, menurut Sir Charles Webster dan Noble Frankland, The Strategic Air Offensive Against Germany 1939–1945 (1961), infrastruktur listrik telah ditetapkan sebagai target kritis dalam setiap perang.
Meski konsep yang dikembangkan ACTS bukan doktrin resmi dan tidak ditulis dalam peraturan, namun telah menjadi landasan perancangan kampanye pengeboman strategis dalam PD II untuk pertama kalinya.
Premis utama para pemikir dan komandan Angkatan Udara di ACTS, bahwa kemauan atau moral suatu negara, dan bukan penghancuran pasukan lapangan, adalah tujuan sebenarnya dalam perang.
Asumsi ini didasarkan pada persepsi bahwa kekalahan Jerman dalam PD I karena rakyat Jerman kehilangan keinginan untuk melanjutkan perang, bukan karena tentaranya telah dikalahkan. Dengan demikian, disintegrasi moral sipil bangsa adalah tujuan sebenarnya dalam perang.
Dalam hampir semua kasus serangan dengan target jaringan listrik, seperti serangan Rusia, telah membunuh atau melukai banyak warga sipil, menghancurkan properti dan sangat mengganggu kehidupan penduduk sehari-hari.
Di bawah Hukum Humaniter Internasional, dampak serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil harus diperhitungkan dalam semua operasi militer. Semua tindakan yang mungkin harus diambil untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan sipil dan infrastruktur penting seperti fasilitas kesehatan, perumahan, sekolah, pembangkit listrik, dan persediaan air.
Penargetan Rusia terhadap infrastruktur listrik dan infrastruktur sipil lainnya adalah melanggar hukum. Moral penduduk sipil bukanlah target yang sah, dan melakukan serangan ini dengan tujuan untuk meneror warga sipil, adalah kejahatan perang.
Semua orang yang bertanggung jawab memerintahkan dan melakukan serangan kriminal ini harus dimintai pertanggung jawaban dan dikutuk oleh komunitas internasional.
[***]