KedaiPena.com – Kehadiran komunitas atau relawan sebagai kelompok yang tidak berada dalam kelompok aliran kanan atau kiri, menjadi preferensi elektoral yang sangat penting. Terutama dalam proses Pilpres, dimana seorang calon presiden harus lah mendapatkan kemenangan 50+1 persen untuk dapat memenangkan kursi nomor satu negeri ini.
Wakil Ketua Umum, Ganjarcenter.id, Hendra Kusumah menjelaskan politik aliran sudah menjadi bagian perjalanan politik di Indonesia sejak Pemilu 1955. Dan saat ini, politik aliran ini maknanya direduksi menjadi politik identitas.
Saat itu, partai yang meraih suara, yaitu PNI yang abangan 52 persen, Masyumi sebagai Islam Modern 20 persen, NU sebagai Islam Tradisional 18,54 persen, PKI 6 persen dan PSI sekitar 4 persen.
Komposisi politik aliran ini tidak berubah jika dibandingkan dengan Pemilu setelah Reformasi. Kalau saat periode Presiden Soeharto tidak bisa kita bandingkan, karena Partai Golkar terlalu mendominasi.
Pada Pemilu 1999, PDI bisa meraih 34 persen, karena dianggap sebagai partai yang konsisten di jalur berseberangan dengan pemerintah.
Tapi pada tahun 2004 hingga saat ini, dengan mengecualikan anomali Pemilu 2009 dimana Demokrat bisa mencapai 27 persen, rata-rata perolehan partai ada di 20 persen. Kondisi ini mirip dengan kejadian tahun 1955. Dimana partai Islam ada disebelah kanan dan partai sosial di sebelah kiri. Yang paling banyak adalah yang tengah dengan 60 persen, yang menciptakan ceruk-ceruk bagi partai baru, contohnya Gerindra, Nasdem dan sekarang Perindo misalnya. Ini adalah politik aliran.
“Yang menarik adalah sejak pemilu dengan menggunakan sistem pemilihan presiden secara langsung. Basis-basis komunitas bermunculan, menjadi komplemen dari politik aliran. Partai politik, yang secara tidak sadar atau memang intensi-nya seperti itu, mempertahankan politik aliran, pasti ada menyisakan kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang tidak terakomodir oleh partai politik,” kata Hendra Kusumah dalam diskusi politik tentang Komunitas dan Basis Preferensi Elektoral, yang digelar Ganjarcenter.id, dikutip Selasa (18/4/2023).
Ia menyatakan partai politik di Indonesia cenderung bermain di zona nyaman. Dimana, para partai politik tidak berani bertarung program, karena captive mereka ada dalam politik aliran tersebut.
“Ketika pemilu legislatif, semuanya bisa berjalan biasa. Tapi saat pilpres, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus bergandengan dengan basis – basis komunitas itu, relawan-relawan itu, yang mengisi ceruk-ceruk tengah itu,” paparnya.
Hendra menyatakan secara keseluruhan relawan atau komunitas memiliki esensi positif.
“Walaupun pada beberapa kasus, ada pertentangan tajam antara partai politik dengan relawan, yang seharusnya tak perlu terjadi,” paparnya lagi.
Ia mengungkapkan keberadaan relawan atau komunitas ini, jika merujuk pada negara-negara yang berbasis pada demokrasi, merupakan sumber rekruitmen baru bagi partai politik.
“Tapi kita tahu, ada isu oligarki, yang sedikit banyak pasti terganggu dengan orang baru, yang dianggap tidak berdarah biru, yang telah bersusah payah membangun partai baru, dianggap ancaman. It’s okey, karena jika kita melihat perkembangan sejarah, dalam konteks ini, lambat laun harus mengambil sistem komunitas ini sebagai bagian dari sistem demokrasi,” kata Hendra.
Dalam pemilihan presiden, lanjutnya, seorang calon presiden harus mampu menggunakan partai politik, konstituen dan kelompok di luar partai politik mereka. Artinya, para calon presiden ini harus memperlebar dari politik aliran mereka ke arah komunitas di luar partai mereka. Sebagai contoh, presiden yang berhasil dengan menggunakan sistem ini adalah SBY dan Jokowi.
“Contohnya, jika ingin masuk ke dalam komunitas perempuan, harus memahami jika isu perempuan dan feminisme itu berbeda. Isu feminisme itu, belum tentu bisa diterima oleh ibu-ibu. Karena itu, capres maupun tim sukses-nya harus pintar-pintar merajut hubungan dengan komunitas perempuan. Capres dan tim sukses-nya harus bisa menilai risiko jika ingin menjaring dukungan dari komunitas tertentu. Misalnya komunitas LGBT. Jangan sampai kehadiran komunitas ini malah menjadi negatif,” ucapnya.
Hendra mengatakan dengan mengandalkan “big data” maka tim sukses bisa membaca siapa yang disukai atau tokoh seperti apa yang diinginkan oleh suatu komunitas.
“Kecenderungan di masyarakat Indonesia dalam berpartai politik maupun memilih presiden di Indonesia, masih sangat dipengaruhi oleh politik aliran. Jadi, masih ada rasa tidak enak jika tidak memilih orang yang menjadi pilihan kelompoknya. Terlepas, saat ini ada generasi Z atau alpa, yang katanya lebih merdeka. Tapi sebenarnya mereka itu tidak merdeka dalam hal politik,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena