Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Fundamental ekonomi Sri Lanka sudah lama kurang baik, transaksi berjalan mengalami defisit berkepanjangan.
Artinya, ekonomi hanya bertahan dan berfungsi dengan mengandalkan utang luar negeri dan penanaman modal asing, sebagai kompensasi atas defisit transaksi berjalan.
Ketika ada pemicu (dalam hal ini pandemi dan inflasi global) yang membuat ekonomi terguncang, pendapatan devisa dari sektor pariwisata anjlok, mengakibatkan aliran masuk utang luar negeri dan penanaman modal asing terhenti, bahkan terjadi arus balik dolar keluar, memicu krisis cadangan devisa. Tidak cukup untuk impor bahan pangan dan energi, mengakibatkan krisis energi dan krisis pangan, ekonomi terpuruk.
Kondisi Indonesia juga tidak sedang baik-baik saja. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit terus-menerus sejak Q4/2011 hingga 2019. Tetapi, ekonomi Indonesia diselamatkan oleh kenaikan harga komoditas, membuat defisit transaksi berjalan mengecil bahkan surplus.
Meskipun demikian, cadangan devisa Indonesia tetap mendapat tekanan dan berkurang, membuat kurs rupiah juga tertekan hingga mencapai Rp15.000 per dolar AS.
Cadangan devisa sudah berkurang sekitar 12 miliar dolar AS sejak September 2021, dan terus berkurang dalam 4 bulan terakhir ini.
Melihat perkembangan ekonomi global saat ini, aliran dolar ke luar negeri masih akan terus terjadi, kecuali Bank Indonesia menaikkan suku bunga, cadangan devisa masih akan tertekan, dan kurs rupiah masih bisa terdepresiasi lebih dalam.
Kalau penarikan utang semakin besar, krisis valuta dan devisa sulit dihindarkan lagi. Apalagi kalau harga komoditas anjlok, yang cepat atau lambat pasti akan terjadi, yang mana akan mempercepat krisis valuta.
Ingat, tahun 1996, ekonomi Indonesia ketika itu masih sangat baik. Pertumbuhan ekonomi masih sangat tinggi, sekitar 8% lebih. Tapi pertengahan 1997 terjadi krisis valuta dan krisis cadangan devisa.
[***]