KedaiPena.Com – Salah satu Kematian sebanyak 1.820 ton ikan di Danau Toba tepatnya di Kerambah Jaring Apung (KJA) di Desa Haranggaol dikarenakan menurun drastisnya oksigen yang terlarut di dalam air.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Sumut Zonny Waldi usai digelarnya Rapat Koordinasi Pengendalian pencemaran lingkungan di perairan Danau Toba di Ruang Rapat Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara, Selasa (10/5).
“Normalnya, ikan membutuhkan oksigen di atas 3 ppm (part per million). Saat kejadian, kondisi oksigen 1 ppm. Namun, ikan yang masih hidup layak dan aman untuk dikonsumsi,†kata Zonny.
Menurut Zonny, salah satu penyebab menurunnya kandungan oksigen itu dikarenakan penundaan panen ikan. Dimana ikan yang seharusnya dipanen pada ukuran 500 gram per ekor ditunda hingga ukuran 800-1000 gram per ekor.
Penundaan itu, lanjutnya mengakibatkan keperluan oksigen semakin tinggi. Sementara itu alasan penundaan panen ini dilakukan oleh pembudidaya ikan untuk mendapatkan harga lebih tinggi pada saat bulan Puasa dan Lebaran. Harga yang awalnya hanya Rp22 ribu per kilogram, pada bulan-bulan itu akan mengalami kenaikan menjadi Rp28 ribu per kilogram.
Faktor lainnya, lanjut Zonny, disebabkan padat tebar ikan yang tidak sesuai dengan cara budidaya ikan yang baik (CBIB). Seharusnya, lanjut Zonny, untuk KJA ukuran 5x5x5 meter padat tebar ideal adalah 5.000 ekor, tetapi dalam praktiknya para pembudidaya ikan dimasukkan 10 ribu-15 ribu ekor ikan.
Tak hanya itu, Zonny menerangkan, tata kelola KJA yang tidak teratur juga menjadi faktor penting. Dimana aliran angin dan sirkulasi air dalam KJA terhalangi.
“Kemudian pada awal kematian, ikan-ikan dibiarkan membusuk di dalam KJA sehingga membuat kualitas air makin buruk,†ungkapnya.
Lebih jauh Zonny menerangkan, secara eksternal, ketika kejadian cuaca mendung dan sinar matahari yang tidak berlangsung lama juga ditengarai menjadi salah satu penyebab minimnya Oksigen. Kurangnya asupan cahaya matahari menyebabkan fotosintesa tumbuhan air dan plankton untuk memproduksi oksigen tidak terjadi.
“Tidak ada angin, maka tidak ada ombak sehingga tidak ada penambahan oksigen di permukaan air. Kemudian, perairan Haranggaol terletak di antara bukit kapur sehingga pada waktu tertentu pH bisa naik sehingga dapat menyebabkan racun,†katanya.
Zonny mengaku, kesimpulan tersebut berdasarkan hasil investigasi tim yang diterjunkan sehari setelah kejadian. Tim I yang terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan yakni, Prof. Krismono dan staf teknis serta tiga orang dari Tim Kesehatan Ikan dan Lingkungan Diskanla Sumut, turun tanggal 3-4 Mei. Sementara Tim yang ke-2 turun pada tanggal 6-7 Mei. Tim itu terdiri dari UPT BAT Jambi, Badan Karantina Ikan dan Pengendali Mutu (BKIPM dan Diskanla Sumut.
(Dom)