KedaiPena.Com – Pulau Mursala di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Pulau yang tersohor tak hanya secara nasional namun juga ke mancanegara karena memiliki Air Terjun unik yang tumpahannya langsung ke lautan bebas.
Dibalik daya kewisataannya yang menarik, pulau yang secara administratif berada di Desa Tapian Nauli I, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah ini ternyata menyimpan momok penyakit yang menakutkan dan mematikan, yakni nyamuk Malaria.
“Malaria paling banyak di sini (Pulau Mursala-red),†ucap Ina (sebutan ibu bagi etnis Nias) Wati Laia (42), seorang warga di Pulau Mursala.
Warga Lingkungan IV di kawasan Pulau Mursala yang telah menghuni pulau Mursala sejak 25 tahun silam ini mengaku, banyak warga yang bermukim di pulau itu meninggal dikarenakan penyakit itu.
“Iya mati, banyak yang mati disini kenak Malaria, di bawa ke dokter katanya Malaria, gitu. Itu, lihatlah di atas sana banyak kuburan, ada juga yang baru melahirkan kenak Malaria, mati, lebih dari 20 orang mati, mulai dari orangtua sampai anak-anak, banyak yang mati,†tuturnya.
Dengan logat yang khas etnis Nias, Ina Wati menceritakan yang juga terjadi di tengah keluarganya. Dua putranya juga mengalami takdir yang sama, meninggal dikarenakan Malaria. Pertama, putra ke 3 yang meninggal di usia 3 bulan, menyusul putra ke 4 yang meninggal di usia 1 bulan.
“Sekarang anak saya yang masih hidup ada lima lagi, yang dua itu meninggal, ya karena Malaria itu,†katanya.
Untuk bertahan menghadapi penyakit itu, kata Ina Wati, dirinya dan warga di pulau berusaha bertahan dengan memanfaatkan rerumputan yang diolah sedemikian rupa menjadi obat tradisional.
Obat tersebut akan menjadi upaya sementara sebelum langkah medis diperoleh. Pasalnya, untuk mendapatkan penanganan secara medis, warga harus menyeberang lautan ke Kota Sibolga atau ke Kabupaten Tapanuli Tengah, yang tentu membutuhkan waktu perjalanan hingga 4 jam.
“ Ya bagaimana lagi cara kami, kalau gak sanggup lagi bawak ke rumah sakit, ya mati. Pasrah saja, kalau mati, ya matilah,†kata Wati bernada pasrah.
Mengapa masih memilih bertaha di pulau tersebut, Ina Wati mengaku ia dan warga lain tak punya pilihan lain. Pulau Mursala telah menjadi tempat bermukim yang telah mereka diami selama puluhan tahun. “Ya bagaimana, dikasih Tuhan kami tinggal disini, banyak lahan kami disini, aku juga sekarang kenak Malaria ini, panas dingin, panas dingin, pasrah saja,†ucapnya.
Soal tenaga kesehatan, Ina Wati menceritakan tak ada yang menetap di pulau itu. Kendati, pernah beberapa kali tenaga kesehatan datang berkunjung, baik Bidan dari Pemerintah maupun tenaga kesehatan yang diutus oleh Pastoran Katolik.
“Bidan datang dari Pemerintah sudah 2 kali datang, sekali di bawa kepala desa yang lama, sekali pernah lagi di bawa kepala desa lainnya, dari Pastoran juga pernah datang, tapi pas sakit, gak ada yang datang,†tuturnya.
Masiati Halawa (30an), penduduk lainnya di Pulau itu menceritakan pengalaman serupa. Menurut ia, Malaria menyebabkan masyarakat di pulau itu menjadi lemah.
“Iya, ini juga (menunjukkan seorang anak perempuan) baru sakit ini, iya kayak Malaria, itulah kelemahan kami disini,†katanya.
Soal kasus Malaria yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, Masiati menuturkan memang belum pernah ditemukan di pulau itu. “Kalau itu memang gak pernah, tapi kalau meninggal banyak,†kata Masiati.
Terpisah, warga lainnya Arman harahap (40an) mengatakan, sebuah unit Puskesmas Pembantu pernah dibangun di daerah tersebut. Sayangnya, sejak dibangun 20 tahun yang silam, tak seorangpun tenaga medis yang ditempatkan untuk membantu masyarakat.
“20 tahun Puskesmas itu sudah dibangun, sampai sekarang gak ada petugas yang pernah datang, sampai mau hancurlah itu,†ungkapnya.
Mempengaruhi Pendidikan Bagi Anak-anak
Penyakit Malaria agaknya tak hanya menjadi momok bagi kesehatan penduduk di Pulau tersebut, tapi juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terhentinya sebuah Sekolah Dasar (SD) yang pernah dibangun di daerah itu. Disebutkan, tenaga pengajar yang ditugaskan ke sekolah tersebut mengalami sakit yang diduga penyakit Malaria.
“Pernah ada sekolah disini, SD, 15 tahun yang lalu lah itu, gurunya gak mau, karena sampai di sini mereka sakit (Malaria-red),†kata Gulo warga lainnya di Pulau Sitaban Barat.
Penuturan Gulo, saat ini gedung sekolah yang dulunya dibangun oleh Dinas P dan K (kini Dinias Pendidikan dan Kebudayaan) itu, kini dimanfaatkan menjadi tempat tinggal oleh penduduk. Aktifitas belajar mengajar tak pernah lagi berlangsung.
Padahal, kata Gulo, saat ini di daerah tersebut terdapat 40 an anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Bagi sebagian penduduk yang memiliki kemampuan keuangan yang cukup dan memiliki kerabat di Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah, maka anaknya akan diberangkatkan untuk bersekolah. Sementara bagi penduduk dengan kemampuan ekonomi lemah, maka anaknya tidak akan mendapatkan pendidikan.
“Kalau ada yang mampu ya ke Sibolga, ya kalau ada keluarganya. Ya kalau gak ada kemampuannya, gak ada keluarganya di Sibolga, ya gak sekolah,†kata Gulo.
Ia pun berharap, pemerintah setempat dapat membangun kembali sarana pendidikan bagi anak-anak di pulau tersebut. “Sudah jelaslah, butuh sekolah. Disini banyak anak-anak kami. Ya harapannya biar anak-anak bisa sekolah, tak buta huruf, ya dibangun sekolah disini,†kata Gulo.
Penyakit di Jalur Khatulistiwa
Penelusuran dari Wikipedia.Com menyebutkan, penyakit ini tersebar luas di daerah tropis dan subtropis yang ada di pita lebar sekitar khatulistiwa. Ini termasuk banyak dari Afrika Sub-Sahara, Asia, dan Amerika Latin. Pada 2015, ada 214 juta kasus malaria di seluruh dunia. Hal ini mengakibatkan sekitar 438.000 kematian, 90% di antaranya terjadi di Afrika. Tingkat penyakit menurun dari tahun 2000 hingga 2015 sebesar 37%, namun meningkat dari 2014 di mana ada 198 juta kasus. Malaria umumnya terkait dengan kemiskinan dan memiliki efek negatif yang besar pada pembangunan ekonomi. Di Afrika, malaria diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar US$12 miliar setahun karena meningkatnya biaya kesehatan, kehilangan kemampuan untuk bekerja, dan efek negatif pada pariwisata.
Laporan: Dom