KedaiPena.com – Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semakin jauh dari cita-cita pemberantasan tindak korupsi di negara ini, dinyatakan sudah dimulai dengan disahkannya UU KPK yang baru. Ditambah lagi, Ketua KPK saat ini, adalah seseorang yang dulu pernah melakukan pelanggaran berat berdasarkan UU KPK yang lama.
Mantan Penasehat KPK, DR. Abdullah Hehamahua mengemukakan bencana negara ini, khususnya KPK, itu berawal dari Presiden Joko Widodo
“Berdasarkan pengantar dari Presiden, maka dibawalah RUU Amandemen KPK yang menjadi pintu kehancuran KPK. Bagaimana tidak, hingga RUU itu dibahas di DPR, KPK sendiri tak pernah dilibatkan,” kata Abdullah dalam diskusi berjudul Bersihkan KPK dari Kepentingan Politik: Turunkan Firli Bahuri Segera!, Kamis (13/4/2023).
Bahkan hingga pimpinan KPK bersurat ke Kemenkumham, untuk meminta RUU Amandemen KPK, tidak juga dikasih.
“Ini menjadi indikasi kejahatan Jokowi. Dan setelah disahkan oleh DPR, Jokowi ini tidak menandatangani. Menurut UU, setelah disahkan, jika tidak ditandatangani, maka satu bulan kemudian, RUU ini akan sah. Ini menunjukkan kekerdilan moral dalam menghadapi korupsi,” ujarnya.
Akibatnya, terjadi kekosongan kewenangan KPK. Salah satunya, korupsi menurut UU No.11 tahun 2019 bukan lah kejahatan luar biasa.
Yang lainnya, UU baru ini juga menghilangkan kewenangan penyadapan KPK. Dimana dalam UU KPK yang baru ini, penyadapan dilakukan dengan seizin Dewan Pengawas.
“Padahal, kita tahu, jika Dewan Pengawas itu dilantik oleh Presiden. Secara teoritis logika, bagaimana Dewan Pengawas yang dilantik oleh Presiden dapat memberikan izin penyadapan pada presiden yang melantiknya atau pada menteri-menteri, anak buah Presiden. Itu tidak mungkin,” ujarnya lagi.
Oleh karena itu, lanjut Abdullah, kasus-kasus KPK Di zaman Firli saat ini, merupakan kasus yang melibatkan orang-orang yang tidak punya kekuatan politik, orang yang dianggap nasibnya jelek saja.
“Sebagai contoh, Harun Masiku yang sudah tiga tahun saja, belum juga ditangkap, Karena melibatkan partai besar, partai yang berkuasa,” kata Abdullah selanjutnya.
Ia juga menyampaikan, dalam UU KPK yang lama, orang yang terkena kasus KPK tidak boleh dijatuhi SP3. Sehingga 99 persen kasus KPK, harus diputuskan melalui pengadilan.
“Melalui Amandemen KPK, setelah dua tahun ditangani dan tidak selesai, boleh di-SP3-kan. Ini menjadi sinyal baik para koruptor, jika ketahuan, mereka pergi keluar negeri, tunggu dua tahun, baru kembali lagi,” ucapnya.
Perlu diingat kembali, lanjutnya, Firli pernah ditugaskan menjadi Deputi Penindakan dan melanggar kode etik.
“Saya dipanggil, untuk memberikan pandangan. Saat itu saya diberi dua video singkat. Dan saya katakan ini bukan pelanggaran kode etik. Tapi ini pelanggaran pidana. Karena apa, ada peraturan, bahwa orang KPK tak boleh bertemu dengan pihak tersangka, saksi dan keluarganya, baik langsung maupun tidak langsung,” ucapnya lagi.
Abdullah menyebutkan saat itu, Firli dinyatakan melakukan pelanggaran berat. Tapi Ketua KPK terlambat untuk mengeluarkan SK, akhirnya Firli ditarik oleh instansi-nya dan ditempatkan sebagai Kapolda Sumatera Selatan. Lalu, Firli pun mengikuti seleksi pimpinan KPK.
“Saat proses penyeleksian, pimpinan KPK sudah menyurati DPR dan menyatakan jika orang tersebut bermasalah. Tapi bulat suara Anggota Komisi III memilih Firli sebagai Ketua KPK,” ungkapnya.
Akhirnya, saat Firli menjabat sebagai Ketua KPK, banyak pelanggaran kode etik dan pidana yang terjadi.
“Salah satunya, saat Ia pulang kampung menggunakan helikopter, dengan alasan menghindari kemacetan. Padahal dalam aturan KPK, pegawai KPK yang bergelantungan di bis saja bisa kena, apalagi jika menunjukkan kemewahan atau sebagainya. Tapi waktu itu, hanya diberi sanksi saja. Kalau Dewas mau bertindak sesuai aturan, helikopter itu dapat dikategorikan gratifikasi. Belum lagi, saat ini Firli memasang baliho dimana-mana, itu melanggar kode etik KPK,” ungkapnya lagi.
Dan yang paling akhir diberitakan, adalah bocornya penyelidikan dan ramai di media sosial. Padahal, penyelidikan ini merupakan satu hal yang sangat penting.
“Padahal salah satu kehebatan KPK itu adalah OTT, yang sudah ada bukti awal. Kalau misalnya, surat penyelidikan sudah diketahui oleh pihak ESDM, maka bukti-bukti itu bisa diamankan. Pak Alex harusnya ingat, jika ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan KUHAP dengan KPK,” tandasnya.
Laporan: Ranny Supusepa