KedaiPena.Com – Seperti diberitakan, Presiden Jokowi baru saja menerbitkan Keppres no 6/2021 tentang pembentukan satgas penanganan hak tagih negara dana BLBI. Keppres tersebut berisikan struktur satgas sebagai berikut:
Pengarah
1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Mahfud Md)
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartarto)
3. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Luhut Binsar Pandjaitan)
4. Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati)
5. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna Laoly)
6. Jaksa Agung (ST Burhanuddin)
7. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Jenderal Listyo Sigit Prabowo).
Pelaksana
1. Ketua Satgas, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Rionald Silaban)
2. Wakil Ketua Satgas, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Republik Indonesia (Feri Wibisono)
3. Sekretaris, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (SugengPurnomo).
Keppres ini sendiri sepertinya bersumber dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 yang mengungkap bahwa Kementerian Keuangan belum optimal mengelola aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hasil pemeriksaan BPK atas Kemenkeu ini memaparkan empat temuan terkait pengelolaan aset yang terkait BLBI.
Pertama, pengelolaan aset properti eks BPPN dan eks kelolaan PT PPA (Persero) belum memadai.
Kedua, BPK juga menyebut aset properti tidak disajikan berdasarkan basis pengakuan yang sama. Ketiga, temuan krusial lainnya adalah pengelolaan piutang BLBI yang juga belum memadai. Tak tanggung-tanggung nilai piutangnya mencapai Rp17,17 triliun.
Menariknya, keempat, laporan BPK ini mengungkap sejumlah hal dalam proses penagihan piutang BLBI mulai dari adanya agunan aset bank dalam likuiditas atau BDL yang tidak dikuasai pemerintah hingga tingkat penyelesaian piutang yang diserahkan kepada negara sangat rendah.
Yang menarik, dalam laporan BPK disebutkan juga bahwa tingkat penyelesaian piutang jika dirata-rata masih kurang dari 10 persen.
LHP BPK menjelaskan piutang BLBI sebesar Rp91,7 triliun yang terdiri dari aset kredit eks BPPN sebesar Rp72,6 triliun, aset kredit Eks kelolaan PT PPA sebesar Rp8,9 triliun dan piutang eks BDL sebesar Rp10,07 triliun.
Di sisi lain, terkait pengelolaan piutang BLBI BPK juga masih menemukan pengelolaan jaminan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) belum. Nilainya mencapai Rp17,03 triliun. Sehingga bila ditotal nilainya mencapai Rp 108 triliun.
Analis ekonomi Universitas Bung Karno (UBK), Gede Sandra mengkritisi pennunjukkan Sri Mulyani sebagai dewan pengarah. Menurutnya telah terjadi konflik kepentingan, yang berlandaskan dua hal.
“Pertama, Kemenkeu yang dipimpin Sri Mulyani, sudah divonis oleh BPK telah sangat lambat menyelesaikan penagihan BLBI, hanya 10% rate-nya. Karena itu jangan malah dilibatkan lagi, seharusnya para pejabat Kemenkeu termasuk menterinya menjadi objek yang diperiksa mengapa bisa sangat lambat dalam mengurus penagihan BLBI ini,” kata Gede di Jakarta, Senin (12/4/2021).
Kedua, menurut Gede, nama Sri Mulyani kerap kali disebut dalam persidangan kasus BLBI. Jadi sebaiknya tidak masuk ke dalam pengarah. Bisa-bisa dia, Sri Mulyani, menyelamatkan dirinya sendiri.
Kasus yang dimaksud Gede adalah dalam persidangan Syarifuddin Arsyad Tumenggung mantan Kepala BPPN. Kejadiannya pada bulan April tahun 2018, dengan pengacara Syarifuddin adalah Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menjelaskan bahwa kerugian negara disebabkan keputusan Menteri Keuangan tahun 2007, Sri Mulyani menjual hak tagih dengan harga yang sangat rendah.
“Tahun 2007 hak tagih itu dijual oleh Menkeu dan PT PPA. Dijual PT PPA, tentu dengan persetujuan Menkeu ya kan. Dijual dengan harga 220 miliar. Jadi terjadi kerugian negara 4,8 Triliun dikurangi 220 Miliar,” lanjutnya.
Saat itu Yusril sekali lagi menegaskan bahwa seharusnya yang diadili KPK itu adalah Sri Mulyani, bukan Syafruddin.
Laporan: Muhammad Lutfi