Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.
Keputusan Uni Eropa (UE) untuk menunda penerapan Undang-Undang Antideforestasi selama 12 bulan telah menarik perhatian banyak pihak, khususnya negara-negara penghasil komoditas seperti Indonesia dan Brasil. Aturan yang sebelumnya diharapkan mulai berlaku dalam waktu dekat ini bertujuan untuk mengekang deforestasi global melalui pengaturan ketat pada rantai pasok produk-produk seperti sawit, kopi, kakao, dan kedelai.
Penundaan ini memberikan sedikit kelonggaran bagi produsen, namun jika dilihat dari sudut pandang kebijakan publik, langkah ini tidak hanya berimplikasi pada perdagangan internasional, tetapi juga menyentuh isu-isu strategis lain seperti keberlanjutan lingkungan, ekonomi, serta diplomasi multilateral.
Melihat keputusan ini dari perspektif kebijakan publik, kita dapat memahami bahwa penundaan penerapan UU ini bukan semata-mata kemenangan bagi negara penghasil komoditas, tetapi juga cerminan dari ketegangan antara prioritas lingkungan global dan kebutuhan ekonomi lokal di negara-negara berkembang. Dalam artikel ini, kita akan membahas implikasi kebijakan penundaan UU Antideforestasi Uni Eropa, apa yang harus dilakukan Indonesia, dan bagaimana kebijakan publik dapat disusun untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi, lingkungan, dan diplomasi.
Dinamika Kebijakan Global dan Lokal
Kebijakan Uni Eropa terkait deforestasi merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi hutan-hutan tropis. Hutan adalah penyerap karbon yang sangat penting, dan kerusakannya berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca global. Oleh karena itu, Uni Eropa menganggap perlu untuk memperketat aturan rantai pasok produk yang berkaitan dengan deforestasi, agar komoditas yang masuk ke wilayah mereka tidak berasal dari lahan yang dulu adalah hutan.
Namun, di sisi lain, negara-negara penghasil komoditas, seperti Indonesia, menghadapi tantangan yang berbeda. Ekspor kelapa sawit, kopi, dan produk lainnya merupakan tulang punggung ekonomi negara dan berkontribusi besar terhadap devisa. UU Antideforestasi yang mengharuskan sertifikasi bebas deforestasi dianggap memberatkan, terutama bagi petani kecil yang akan kesulitan memenuhi persyaratan tersebut.
Penundaan selama 12 bulan ini dapat dilihat sebagai upaya UE untuk mengakomodasi tekanan dari negara-negara tersebut, terutama Brasil dan Indonesia. Tetapi, jika dilihat lebih mendalam, keputusan ini juga mencerminkan dilema yang sering dihadapi pembuat kebijakan global: bagaimana cara menyeimbangkan kebutuhan lingkungan yang mendesak dengan realitas ekonomi di lapangan, khususnya di negara-negara berkembang.
Pentingnya Konsolidasi Kebijakan di Indonesia
Penundaan ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk tidak hanya mempersiapkan diri dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kebijakan. Selama ini, Indonesia telah mencoba untuk mempromosikan minyak sawit berkelanjutan melalui program Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan berbagai inisiatif lainnya. Namun, implementasi kebijakan ini sering kali belum optimal di lapangan, baik karena kurangnya pengawasan, keterbatasan kapasitas petani kecil, maupun masalah birokrasi.
Dari sudut pandang kebijakan publik, penundaan ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat program-program yang mendukung keberlanjutan. Pemerintah dapat memperkuat sertifikasi ISPO, mendorong insentif bagi perusahaan dan petani yang mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, serta meningkatkan transparansi dalam rantai pasok. Ini tidak hanya akan mempersiapkan industri menghadapi EUDR ketika akhirnya diterapkan, tetapi juga akan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global yang semakin peduli terhadap keberlanjutan.
Lebih jauh lagi, penundaan ini harus dimanfaatkan sebagai momen untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam kebijakan lingkungan domestik. Pemerintah Indonesia harus memperketat pengawasan terhadap aktivitas deforestasi ilegal dan memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggar lingkungan. Kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan tidak hanya akan membuat Indonesia lebih siap menghadapi tantangan global, tetapi juga membantu menjaga aset lingkungan domestik yang sangat penting bagi kesejahteraan jangka panjang.
Dampak Penundaan terhadap Diplomasi dan Hubungan Multilateral
Dari sisi diplomasi, keputusan Uni Eropa untuk menunda UU Antideforestasi juga menunjukkan bahwa negara-negara penghasil komoditas masih memiliki kekuatan dalam dialog internasional. Indonesia dan Brasil, sebagai dua negara produsen terbesar, telah menunjukkan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan global melalui diplomasi ekonomi. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi multilateral, terutama dalam isu-isu yang berkaitan dengan perdagangan dan lingkungan.
Penundaan ini memberikan ruang bagi Indonesia untuk melakukan diplomasi lebih lanjut. Pemerintah perlu memanfaatkan waktu ini untuk mengintensifkan dialog dengan Uni Eropa, memastikan bahwa aturan yang nantinya diterapkan dapat adil bagi negara-negara berkembang. Pemerintah Indonesia harus menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh petani kecil dan pentingnya adanya fleksibilitas dalam penerapan kebijakan agar tidak merugikan negara-negara berkembang yang masih bergantung pada komoditas ekspor.
Kebijakan Publik Berbasis Keseimbangan: Ekonomi vs Lingkungan
Salah satu pelajaran penting dari penundaan ini adalah perlunya kebijakan publik yang seimbang antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Indonesia tidak bisa hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek dari ekspor komoditas tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Di sisi lain, penerapan kebijakan yang terlalu ketat tanpa memperhitungkan realitas ekonomi juga dapat merugikan masyarakat, terutama petani kecil.
Oleh karena itu, kebijakan publik Indonesia harus dirancang untuk mencapai keseimbangan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan mengadopsi pendekatan just transition, di mana transisi menuju ekonomi yang lebih hijau dilakukan secara bertahap dan adil, sehingga tidak menimbulkan kerugian besar bagi kelompok rentan seperti petani kecil. Pemerintah perlu menyediakan dukungan berupa pelatihan, teknologi, dan akses ke pendanaan hijau bagi petani, agar mereka dapat memenuhi standar keberlanjutan yang semakin tinggi.
Strategi Kebijakan di Masa Depan
Dalam jangka panjang, Indonesia harus memikirkan cara-cara untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas yang rentan terhadap perubahan kebijakan global. Diversifikasi ekonomi merupakan salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan, dengan mendorong pengembangan sektor-sektor lain yang tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas primer. Selain itu, investasi dalam teknologi hijau dan praktik pertanian berkelanjutan harus terus didorong, agar Indonesia dapat tetap kompetitif di pasar global yang semakin peduli terhadap isu-isu lingkungan.
Langkah lain yang bisa diambil adalah meningkatkan kerjasama dengan negara-negara penghasil komoditas lainnya. Indonesia, bersama Brasil dan negara-negara lain, bisa membentuk aliansi strategis untuk menegosiasikan kebijakan-kebijakan internasional yang lebih adil. Dalam kerangka multilateral seperti G20 atau WTO, Indonesia harus terus memperjuangkan kepentingan negara berkembang, memastikan bahwa kebijakan-kebijakan global tidak merugikan perekonomian domestik.
Penundaan UU Antideforestasi oleh Uni Eropa memberikan waktu yang berharga bagi Indonesia untuk berbenah, baik dari sisi kebijakan domestik maupun strategi diplomasi internasional. Namun, penundaan ini bukan alasan untuk berpuas diri. Indonesia harus memanfaatkan waktu ini untuk memperkuat komitmen terhadap keberlanjutan, memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam rantai pasok komoditas, dan memastikan bahwa ketika aturan ini akhirnya diterapkan, kita sudah siap.
Dari sudut pandang kebijakan publik, penundaan ini harus dilihat sebagai kesempatan untuk mengkaji ulang kebijakan ekonomi dan lingkungan Indonesia. Keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan harus menjadi fokus utama, dengan mengutamakan kepentingan jangka panjang bagi kesejahteraan bangsa dan dunia. Dengan memanfaatkan waktu penundaan ini dengan baik, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan global yang lebih adil, sekaligus memperkuat posisi sebagai negara produsen komoditas yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
[***]