KEBERHASILAN Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat dalam mengungkap kasus eksploitasi seksual komersial yang melibatkan 3 orang anak laki-laki bersama dua perempuan dewasa melalui pembuatan video porno yang diduga dilakukan di salah satu hotel di Bandung patut diapresiasi. Keberhasilan Polda Jabar mengungkap kasus ini menunjukkan keseriusan Kepolisian RI dan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi eksploitasi dan kekerasan terhadap anak.
Terungkapnya kasus eksploitasi seksual anak di Bandung ini memperlihatkan kerentanan anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dengan memanfaatkan medium internet. Lebih jauh, pelibatan anak dalam eksploitasi seksual komersial tersebut juga menunjukkan kerentanan anak ketika berhadapan dengan orang dewasa. Faktor relasi kuasa yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa merupakan salah satu penyebab terjadinya eksploitasi anak, sehingga anak-anak tersebut tidak dapat menghindar dari paksaan dan ancaman yang dialaminya.
Salah satu orang tua korban turut serta melakukan tindakan eksploitatif tersebut. Hal ini dapat terjadi karena anak seringkali dianggap sebagai aset bagi keluarga untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Motivasi untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi seringkali menjadi latar belakang anak dilibatkan dalam kasus eksplotasi seksual, seperti pornografi anak.
Dalam konteks hak asasi manusia, kasus pembuatan video pornografi yang melibatkan anak merupakan eksploitasi seksual anak. Eksploitasi seksual terhadap anak-anak berarti penggunaan anak-anak untuk kepuasan seksual oleh orang dewasa. Bentuk utama eksploitasi seksual komersial anak, sepertti pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Dalam kasus pembuatan video pornografi yang melibatkan anak di Bandung, yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata, kasus tersebut juga menunjukkan adanya penggunaan fasilitas hotel untuk melakukan tindakan eksploitasi tersebut.
Eksploitasi seksual komersial anak juga telah dilarang dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional seperti Konvensi Hak Anak, dan Protokol Opsional tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir dengan Protokol Khusus untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Konvensi ILO 182 mengakui pelacuran anak dan pornografi anak sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Larangan tersebut juga dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti undang-undang tentang perlindungan anak, undang-undang tentang pornografi, dan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik.
Penggunaan hotel dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak di Bandung dalam konteks hak asasi manusia merupakan bentuk keterlibatan terhadap dampak hak asasi manusia bukan karena aktivitas hotel atau berkontribusi secara langsung terhadap dampak yang merugikan hak asasi manusia. Keterlibatan tersebut disebabkan layanan jasa hotel tersebut menjadi sarana (lokus) terjadinya tindakan eksploitasi seksual terhadap anak.
Hotel merupakan salah satu penunjang industry pariwisata Indonesia. Hotel sebagai sarana akomodasi umum sangat membantu para wisatawan yang sedang berkunjung untuk berwisata dengan nyaman dana man. Sehingga industry perhotelan dengan industry kepariwisataan memiliki kaitan yang erat. Hotel merupakan sarana pokok kepariwisataan (main tourism superstructure) yang berarti hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada jumlah wisatawan yang datang. Sehingga, apabila hotel digunakan untuk tindakan-tindakan yang melanggar hukum seperti eksploitasi seksual anak, akan mengganggu keamanan dan kenyamanannya wisatawan. Akibatnya jumlah wisatawan yang datang dan menginap di hotel akan berkurang dan merugikan industry pariwisata Indonesia.
Keterlibatan hotel dalam ini bertentangan Kode Etika Global Untuk Pariwisata (Global Code Of Ethics For Tourism) yang diadopsi melalui resolusi A / RES / 406 (XIII) Majelis Umum Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) yang ketigabelas pada 27 September – 1 Oktober 1999, di Santiago, Chili), Pasal 2 ayat 3 menegaskan bahwa eksploitasi manusia dalam bentuk apapun, terutama seksual, terutama bila diterapkan pada anak-anak, bertentangan dengan tujuan mendasar pariwisata dan merupakan negasi terhadap pariwisata.
Mencermati kasus eksploitasi seksual komersial anak di Bandung yang memanfaatkan layanan korporasi sektor pariwisata, maka kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:
1. Melaksanakan Peraturan Menteri Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan Eksploitasi Anak di Lingkungan Pariwisata melalui pengawasan yang insentif dalam rangka mencegah pemanfaatkan hotel sebagai sarana untuk melakukan eksploitasi seksual komersial anak;
2. Membentuk sistem yang sinergis dari pihak-pihak terkait agar tercipta upaya pencegahan eksploitasi seksual anak di lingkungan pariwisata;
3. Mendorong korporasi untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur untuk melawan eksploitasi seksual terhadap anak;
4. Mendorong industri pariwisata untuk mengembangkan strategi dan komitmennya terhadap hak asasi manusia;
5. Mendukung kolaborasi dan keterlibatan para pemangku kepentingan industri pariwisata dalam pencegahan eksploitasi seksual terhadap anak, termasuk keterlibatan Komnas HAM dan LPSK untuk memberikan pemulihan terhadap korban.
Di samping itu, kami mendesak agar Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mendorong seluruh anggota untuk mengadopsi Prinsip-Prinsip Panduan mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan karakteristik industri pariwisata;
2. Mendorong seluruh anggota untuk meningkatkan kapasitas karyawan mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak perempuan dan hak anak, pencegahan eksploitasi seksual dan cara-cara penanganan kasus eksploitasi seksual komersial anak;
3. Mendorong seluruh anggotanya untuk mengembangkan kebijakan hak asasi manusia, termasuk dan prosedur untuk melawan eksploitasi seksual terhadap anak; melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak;
4. Mendorong seluruh anggotanya untuk mengembangkan mekanismse pemulihan yang efektif, mudah diakses, dan responsif dengan karakteristik anak yang menjadi korban.
Oleh Wahyu Wagiman, S.H. M.H, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)