SEBERAPA penting latihan dan persiapan mendaki gunung bagi para newbie dan penyuka travelling?
Pertanyaan yang cukup menggelitik buat saya melihat pergeseran pola para newbie dan penyuka traveling dalam mengikuti kegiatan alam bebas saat ini.
Tulisan ini bukan hanya didasari karena banyaknya kecelakaan yang terjadi dalam pendakian gunung belakangan ini.
Kecelakaan dalam pendakian gunung dan kegiatan alam bebas memang kerap terjadi dari dulu sebelum era booming-nya pendakian gunung dan kegiatan alam bebas saat ini.
Tulisan ini justru ingin mengajak para stakeholder pegiat alam bebas untuk berpikir bersama mencari pola dan sistem yang paling baik dalam mengelola kegiatan alam bebas.
Pola dan sistem yang harus diciptakan untuk paling tidak meminimalisir kecelakaan dalam pendakian gunung.
Pergeseran Kegiatan Alam Bebas Era Tahun 80-90an dan Era Tahun 2000an
Era tahun 80 dan 90an kegiatan alam bebas identik dengan seseorang yang ikut ke dalam organisasi pecinta alam atau pegiat alam bebas.
Mengikuti tahapan pendidikan. Dibimbing dan dibina oleh para mentor dan senior. Mengikuti serangkaian tahapan hingga dianggap layak untuk berkegiatan di Alam bebas. Biasanya ditandai dengan status keanggotaan dan simbol organisasi.
Saat itu banyak sekali hasil dokumentasi foto kegiatan di alam bebas yang dicirikan dengan seseorang yang berdiri di puncak gunung dan mengibarkan bendera atau simbol organisasi lainnya.
Memasuki era tahun 2000 pola itu bergeser. Membentuk komunitas lebih memudahkan seseorang untuk ikut dalam kegiatan alam bebas. Bahkan tanpa mengikuti komunitas dan hanya ikut open trip saja juga sudah dapat membuat seseorang melakukan pendakian gunung.
Ciri-cirinya adalah dokumentasi yang dihasilkan bagus sekali dan beredar luas di media sosial. Simbol-simbol organisasi mulai tidak terlihat. Tetapi lebih menunjukkan eksistensi diri.
Era tahun 80 dan 90an para pegiat pecinta alam, seperti mapala, KPA dan sispala menggunakan momen pendakian untuk mengasah kemampuan anggotanya. Seperti meningkatkan kekuatan fisik, melatih survival ability, menguatkan kerja sama tim, dan untuk lebih mencintai tanah air serta mensyukuri maha karya Sang Pecipta.
Booming film 5 cm memberikan pesan kepada anak muda bahwa kegiatan mendaki gunung tidak selamanya harus diikuti dengan terlibat dalam organisasi pecinta alam.
Lihat saja tampilan modis para pendaki gunung dalam film tersebut yang jauh dari apa yang kita lihat dari pendakian gunung yang mengikuti organisasi.
Saya menyebutnya era tahun 80-90an adalah era struktural kegiatan alam bebas. Ditandai dengan mayoritas yang berkegiatan di alam bebas adalah mereka yang mengikuti tahapan pendidikan yang terstruktur.
Hasilnya adalah selektif. Hanya segelintir orang saja yang dapat dan bisa melakukan kegiatan alam bebas. Dalam hal ini khususnya pendakian gunung.
Era tahun 2000an adalah era non struktural kegiatan alam bebas. Tanpa embel-embel identitas maupun serangkaian latihan seseorang dapat mengikuti kegiatan di alam bebas, bahkan pada tingkat yang ekstrim sekalipun.
Hasilnya adalah massif. Kegiatan alam bebas, khususnya pendakian gunung dilakukan oleh banyak orang dan banyak kalangan dengan ragam variasi latar belakang.
Era tahun 2000an serangkaian tahapan persiapan yang matang tidak banyak lagi dilakukan. Porsi terbesar persiapan adalah dalam hal melengkapi peralatan yang diperlukan.
Terkadang malah peralatan yang belum tentu suitainable dengan kebutuhan seorang pendaki gunung. Di sini dapat kita lihat fenomena booming-nya event bazar produk outdoor.
Mencari kelengkapan alat outdoor tidak lagi selalu didasarkan pada kebutuhan dan kesesuaian melainkan lebih menitikberatkan pada life style.
Persiapan lainnya tentunya mencari data tujuan pendakian. Saat ini pencarian data ini sangatlah mudah. Pencarian melalui mesin pencari google dan media sosial lainnya sangatlah membantu.
Akan tetapi yang kerap terjadi justru sebaliknya. Info di media sosial justru menjadi motif awal seseorang melakukan pendakian gunung. Banyak penyebabnya, diantaranya hasil foto yang bagus, caption foto yang menarik dan hal lainnya yang mendorong seseorang menjadikan pendakian gunung menjadi aktifitas tujuannya.
Disamping juga banyak artis dan public figur yang kerap mengunggah aktifitas pendakian gunung.
Sayangnya pencarian data yang ingin didapat lebih banyak menitikberatkan pada spot foto yang unik, bagus dan menarik untuk didatangi dibandingkan data data penting lainnya (curah hujan, kondisi alam, titik titik rawan, dan lain-lain).
Menurut saya ini titik rawannya. Potensi kecelakaan yang kerap terjadi karena informasi yang didapat tidak suitable (cocok) dengan kebutuhan dasar si pendaki gunung.
Kerap terjadi seseorang yang mencari data sebatas ini lupa akan data persiapan terhadap diri sendiri yang diperlukan. Kecakapan fisik, menyadari sejauh mana kondisi fisik dengan karakter gunung yang akan didaki, kesesuaian alat dengan kondisi gunung yang dituju.
Bagaimana support data data mengenai persiapan fisik yang harus dilakukan seorang pendaki gunung? Minim sekali infonya.
Bahkan kalaupun ada datanya, infonya tidak terkemas dengan menarik yang dapat membuat si pembaca yang notabane si pendaki gunung untuk mengikutinya.
Resiko Kegiatan Alam Bebas dan Pencegahannya
Pembagian kedua era tersebut bagaimanapun tidak bisa lepas dari resiko pendakian gunung yang kerap terjadi.
Era tahun 80-90an maupun tahun 2000an tetap menyisakan cerita kecelakaan yang kerap terjadi di dalam pendakian gunung.
Tapi pada akhirnya kesimpulan yang didapat dari kecelakaan tersebut adalah faktor yang sama. Yaitu kurangnya persiapan.
Pencegahan dan antisipasi terhadap hal hal yang tidak diinginkan menjadi prioritas untuk dilakukan. Langkah awal tentunya adalah melakukan identifikasi siapa saja stakeholder dalam kegiatan alam bebas.
Sejauh ini saya memasukkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata, Basarnas, Organisasi Pecinta Alam (baik skala universitas maupun sekolah menegah). Lalu ada juga ormas pegiat alam bebas, travel organizer, tour operator dan institusi/lembaga terkait dalam bidang kegiatan alam bebas (FMI, FPTI, FAJI, APGI, HIKESPI, dan Asosiasi lainnya yang terkait kegiatan alam bebas).
Mungkin masih banyak lagi yang harus dimasukkan dalam list stakeholder dalam kegiatan alam bebas. Sehingga pada akhirnya dapat bersinergi menciptakan pola dan sistem kegiatan alam bebas yang ideal.
Keterlibatan secara utuh seluruh stakeholder dalam kegiatan alam bebas ini pada akhirnya akan dapat disinergikan fungsinya.
KLKH sebagai regulator tempat berkegiatan alam bebas dapat memaksimalkan fungsinya dengan memberikan peraturan yang baik. Baik dari segi perizinan, kelengkapan administrasi maupun peralatan. Selain juga tentunya aturan mengenai ketertiban pendakian (sampah dan kelestarian lingkungan).
Kementerian Pariwisata melakukan fungsinya untuk mengatur informasi mengenai destinasi atau tujuan wisata, dalam hal ini khususnya pendakian gunung.
Basarnas melakukan fungsi mitigasi dan pencegahan maupun penanganan permasalahan kecelakaan dalam pendakian gunung.
Organisasi Pecinta Alam dan Pegiat Alam Bebas juga memainkan peranan yang penting dalam hal edukasi kegiatan alam bebas. Penerapan pendidikan kegiatan alam bebas sedini mungkin menjadi hal yang sangat penting untuk mengubah mindset pegiat alam bebas.
Atau paling tidak membentuk persepsi yang baik di masyarakat sehingga masyarakat awam dapat meniru hal yang baik.
Terakhir adalah peran Organisasi Profesional maupun Federasi dan Asosiasi. Yang tergabung dalam institusi ini pada dasarnya memainkan peran yang vital. Karena kemampuan dan skill yang dimiliki sudah tersandarisasi dengan baik. Bahkan sudah dianggap kompeten.
Harus ada forum bersama untuk membuat pola dan sistem kegiatan alam bebas secara kongkrit. Duduk bersama membuat dan memutuskan pola dan sistem terbaik dalam kegiatan alam bebas.
Melihat potensi alam dan animo masyarakat dalam ikut kegiatan alam bebas rasanya sangat penting untuk sesegera mungkin menjalin komunikasi dan sinergi, duduk bersama membahas isu ini.
Terakhir, mungkin ada quote yang unik dan cukup membangun kesadaran kita bersama dalam melakukan kegiatan alam bebas, khususnya pendakian gunung. Saya kutip dari pendaki legendaris Reinhold Messner:
“People should know before they set off that mountains, all mountains, are dangerous”.
Oleh Rubini Kertapati, Penggiat Alam Bebas