KedaiPena.Com – Arsip dan dokumentasi merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana setiap orang yang bergelut secara sadar dalam kerja-kerja pengarsipan dan dokumentasi itu sesungguhnya sedang menjaga, merawat, menghidupkan, dan melestarikan memori kolektif tentang dirinya, masyarakatnya, dan juga bangsanya.
Sehingga dengan aktivitas keseharian seperti itu sangatlah tepat jika Stella Rimington, seorang perempuan arsiparis dari Inggris, pernah diangkat menduduki kepala intelijen keamanan nasional yang terkenal di dunia, M15, pada tahun 1992 dan berakhir 1996 ketika Stella pensiun.
“Sebenarnya bukan cuma sebagai kepala intelijen M15 saja yang layak disandang arsiparis semodel Stella Rimington, melainkan juga sebagai perdana menteri, atau presiden, atau minimal seperti walikota atau gubernur,” jelas pegiat Klub Literasi Progresif (KLiP) Nanang Djamaludin pada In-House Training: “Optimalisasi Kualitas Produksi dan Pengolahan Wawancara Sejarah Lisan”, di kantor Dispusip DKI Jakarta siang ini, Rabu (4/9).
Sebab di dalam diri seorang arsiparis yang sesungguhnya itu, lanjut Nanang, ia sangat memahami detail tentang masa lalu masyarakatnya, masa kininya, dan bagaimana ia tergerak untuk terus melestarikan masa depan masyarakat dan bangsanya.
Bahkan setelah pensiun dari M15, Stella menulis buku tentang dunia spy. Dan hingga kini sudah belasan buku yang terbit atas namanya.
Baca juga: Usulan untuk Lawan Kata Haus
Nanang yang juga pegiat Jaringan Anak Nasional (JARANAN) itu menyebut, di Indonesia para arsiparis atau para dokumentator itu seakan dipaksa dimasukkan ke gorong-gorong gelap dengan anggaran kecil.
Untuk Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saja tahun 2024 sekedar disuntikan anggaran Rp. 282 miliar dari APBN. Perpustakaan Nasional (Perpusnas) diberikan anggaran sejumlah Rp.721 miliar. Padahal RAPBN 2025 yang beberapa waktu lalu dibacakan sebesar Rp3.613 triliun
Sementara APBD Pemprov DKI Jakarta tahun 2024 yang sebesar Rp85,1 triliun itu dengan alokasi untuk Dispusip, mungkin sekitar, Rp 170-180 milyar.
“Bagaimana para penjaga, perawat, dan pelestari memori kolektif bangsanya atau provinsinya itu akan mampu menjadi seperti Stella Rimington?” katanya dengan nada bertanya.
Di pihak lain, Nanang tetap optimis ketika melihat adanya sebuah gerakan “sadar arsip” yang berlangsung ditingkatan warga masyarakat lewat pemilu, baik Pemilu 2014 hingga Pemilu 2024.
Di mana sejak tahun 2014 orang ramai memfoto, merekam dengan hp-nya, dan mendokumentasikan hasil pemilu di TPS-nya beserta kecurangan-kecurangan yang terjadi, misalnya kawalpemilu.org, yang mana situs itu dibagikan dan dapat diakses warga masyarakat di manapun.
Atau tahun 2024 lalu masyarakat pun secara kreatif membuat aplikasi yang mudah diakses, seperti jagasuaramu.id, wargajagasuara dan jagasuara2024.
Meskipun masih dalam hitungan ribuan orang yang menggunakan aplikasi itu untuk mengawal pemilu 2024 yang menandai kesadaran masyarakat tentang pentingnya arsip pemilu, tentunya jumlah itu masih kalah banyak dengan puluhan juta ratusan ratusan juta orang yang tidak peduli dengan hal tersebut.
Selain Stella Rimington, Nanang pun menyebut Pramudya Ananta Toer sebagai seorang dokumentator ulung Indonesia. Dan tentu pula HB Jassin.
Setelah menjelaskan hal itu sebagai pengantar, Nanang lalu melanjutkan materi khusus untuk training itu, yakni “Teknik Penulisan Artikel dan Narasi Wawancara Sejarah Lisan”.
Dan acara diakhiri dengan masing-masing peserta membuat artikel lewat wawancara sejarah lisan.
Laporan: Ricki Sismawan