PERBINCANGAN soal bocornya SK Kepala BIN soal pengangkatan anggota Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan merebak. Debat berputar pada soal kepatutan dan pelanggaran kerahasiaan.Â
Menurut saya, debat soal SK itu mesti diupgrade. Semisal soal apa sih perlunya Kepala BIN membentuk DISK? Sepengetahuan saya, UU Intelijen tak ada mengatur soal lembaga non struktural ini.
Lagipula mengapa menggunakan nomenklatur Dewan, kok kesannya berat di nama? Dengan jumlah anggota 27 orang itu apa tidak malah jadi beban lembaga?Â
Apakah tidak cukup ada staf ahli, staf khusus, dan jajaran pejabat mulai eselon I ke bawah sebagai alat kelengkapan BIN? Bahkan saya sempat mendengar bahwa ada beberapa anggota DISK yang berlatar belakang fungsionaris partai politik.Â
Jika niatnya adalah untuk memperkaya referensi dan khazanah kajian, kenapa tidak dengan meningkatkan kualitas Litbang, mendorong riset-riset di perguruan tinggi, atau bahkan di STIN yang notabene lembaga untuk mencetak calon-calon agen BIN?Â
Jika toh diperlukan jejaring untuk penelusuran informasi yang sifatnya high level, BIN tentu sudah punya cara dan kiat tersendiri yang merupakan proses pengembangan bertahun-tahun kiprah lembaga ini. Saya kuatir, eksistensi lembaga ini justru menjadi celah rawan bagi kerahasiaan aktivitas BIN.
UU Intelijen mengatur adanya sumpah dan kode etik dengan hak, kewajiban dan sanksi yang jelas. Nah dalam konteks DISK ini saya tidak tahu, apakah mereka juga disumpah sebagai bagian komunitas intelijen? Jika iya, mereka masuk kategori apa? Pejabat struktural, pejabat fungsional agen, jaring informasi atau apa?Â
Komisi I DPR harus bisa mengakhiri kontroversi dan memberi penjelasan secukupnya pada publik terkait isu yang terlanjur mencuat ini. Jika perlu, minta Kepala BIN Sutiyoso untuk membubarkannya dan fokus pada peningkatan kualitas kerja lembaga ini.
Oleh Khairul Fahmi, Jurnalis Kedai Pena‎