KedaiPena.com – Menanggapi penetapan Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2024 tentang Perubahan atas PP No 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera (PP Tapera), Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan, saat ini masyarakat kebingungan soal Tapera karena pejabat atau pemerintah juga tak memiliki penjelasan yang sama dan memadai.
“Beberapa waktu lalu saya sudah sampaikan keberatan masyarakat, kekhawatiran masyarakat soal Tapera. Dan ini harus diakomodasi oleh pemerintah dijelaskan dengan cara yang baik. Apakah tidak tepat? Ketidaktepatannya adalah karena situasional,” kata Joko dalam acara daring, Kamis (13/6/2024).
Ia menyampaikan masyarakat membutuhkan jawaban atas semua pertanyaan mereka dan jawabannya sama, jangan berbeda tiap pejabat.
“Ada pertanyaan soal masyarakat yang sudah punya rumah kenapa harus ikut dan sebagainya. Lalu misalkan buruh atau tenaga kerja yang punya BPJS apakah mereka punya produk yang bisa dikembangkan, seperti apa? Ini harus mendapat akomodasi penjelasan memadai dari pemerintah. Sehingga, masyarakat tidak bingung dan tidak dibingungkan. Karena 1 pejabat katakan 1 pejabat katakan b, c,” ujarnya.
Joko mengungkapkan pengusaha properti, dalam posisi mendorong pemenuhan anggaran untuk pembiayaan perumahan.
“Kami kemarin agak menahan diri karena melihat ini akan ada protes keras, perlawanan keras. Karena 3 hal utama. Pertama, adanya permasalahan hukum, korupsi, penggelapan pengelolaan iuran yang kemarin pasti sangat membekas. Kenapa? Karena kerugian,” ujarnya lagi.
Alasan kedua adalah tumpang tindih iuran yang harus dibayar.
“Soal BPJS, lalu kelompok yang untuk (rumah seharga) Rp500 juta ke atas, apakah mereka juga akan tetap dikenakan potongan iuran? Kemudian, ketiga, terkait mereka yang pendapatannya di bawah Rp4 juta. Akan susah mendapat fasilitas rumah lewat FLPP,” katanya lebih lanjut.
Joko menyatakan REI akan mengirim surat kepada pemerintah terkait anggaran pembiayaan perumahan. Sebab, ujarnya, ada anggaran atau dana besar yang bisa dimanfaatkan lewat mekanisme pendampingan dana.
“Sebut saja dana pensiun, itu ada Rp1.400-an triliun. Katakanlah dikenakan 10 persennnya harus ditempatkan dengan maksimal rate 3 persen. Itu sangat mudah. Kemudian ada dari BPJS TK sekitar Rp300 triliun, juga dana-dana asuransi, atau juga misalnya dana BPKH. Ini bisa dimanfaatkan sebagai dana pendampingan pembiayaan yang manfaatnya akan sangat besar dalam penyediaan perumahan,” ungkapnya.
Joko berharap, di tengah ramainya penolakan ketentuan Tapera, pemerintah bersedia melakukan perbaikan skema. Sebab, tujuan pemerintah adalah baik, untuk mendorong kepemilikan rumah bagi rakyat di tengah backlog perumahan atau kesenjangan kepemilikan rumah di Indonesia yang terus naik. Disebut-sebut, backlog perumahan di Indonesia kini mencapai 9,9 juta.
“Hampir 20 persen keluarga belum punya rumah. Lalu, jika ini semakin lama makin nggak ditangani, ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat karena hunian layak jadi indikator kesejahteraan. Dan, akan lebih dahsyat lagi, jika backlog perumahan tidak diselesaikan, akan memicu inefisiensi APBN,” ungkapnya lagi.
Ia menyebutkan jika pembangunan perumahan tidak terencana, potensi inefisiensi anggaran infrastruktur akan semakin besar.
“Tapera adalah upaya pemerintah untuk mendorong pembiayaan perumahan, menggantikan Bapertarum. Bagaimana Tapera jalan kalau nggak ada dananya. Soal kemudian apakah tidak tepat, ini ketidaktepatannya karena situasional. Karena itu, perlu didudukkan, harus dijelaskan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa