KedaiPena.Com – Mantan Direktur Pemasaran & Niaga dan Dirut Pertamina, Ari H. Soemarno angkat bicara terkait pernyataan Deputi Menteri BUMN yang membawahi Pertamina yang mengatakan bahwa perubahan organisasi direksi dilakukan terkait dengan terjadinya kelangkaan BBM dan LPG sejak tahun lalu.
Menurut Ari, melihat dari pengalaman selama ini terjadinya masalah kelangkaan adalah, terutama (90% lebih) akibat sistim distribusi yang terbuka dengan disparitas harga antara komoditas subsidi dan non subsidi, yang memberi peluang luas bagi penyelewengan dan penyalahgunaan dilapangan. Kelangkaan kemudian selalu terjadi dari waktu waktu sejak pola subsidi diterapkan.
“Dulu waktu saya masih di Pertamina, malah jauh lebih parah dibandingkan saat ini, dengan kelangkaan minyak tanah, solar dan premium yang silih berganti akibat disparitas harga sangat besar. Hanya kurang dari 10% dari kelangkaan adalah karena masalah logistik supplynya, itupun seringnya akibat disengaja oleh Pertamina sendiri yang harus membatasi supply karena kuota subsidi sudah tipis atau habis,†ungkap Ari dalam keterangan persnya, Kamis (15/2/2018).
Ari yang menjabat Dirut Pertamina tahun 2006-2009 menilai, agar supply dapat lancar terus, maka haruslah pemegang saham/pemerintah menyetujui Pertamina untuk “overun†atau lampaui batas kuota subsidi. Akan tetapi itu tidak mungkin, karena kuota ditetapkan berdasarkan undang undang (APBN) dan kalau ditanggung Pertamina sendiri pasti akan menjadi beban finansial yang tidak mungkin bisa ditanggung perusahaan.
“Di lain pihak Pertamina sendiri tidak punya kemampuan untuk menjadi polisi distribusi BBM dan LPG untuk mengatasi penyelewengan dan penyalahgunaan. Meskipun demikian Pertamina memang perlu secara maksimal mengupayakan minimalisasi dengan bekerja sama dengan aparat hukum dan sanksi internal yang ketat kalau masih ada pekerja yang terlibat,†jelas Ari.
“Kalau sekarang disimpulkan bahwa sebab utama nya adalah karena logistik dan supply yang tidak beres, sehingga organisasi dan tata kerja perlu dirombak, maka ini adalah hasil dari identifikasi permasalahan yang salah total, Sepertinya telah terjadi misinformasi, naivitas dan simplifikasi permasalahan,†imbuh dia.
Lebih lanjut Ari mengatakan, Nomenklatur baru direksi yang diputuskan dalam RUPS beberapa hari lalu, akan berakibat perlunya perombakan fundamental struktur organisasi dan tatakerja organisasi di pemasaran dan niaga khususnya, dari yang berdasarkan value chain oriented, dari komoditas yang di dipasarkan, dijual, didistribusikan sebagai satu kesatuan, menjadi pemisahan fungsi-fungsi kegiatan didalam value chain/mata rantai sales & distribution tersebut menjadi unit independen fungsional yang terpisah pisah dan tidak dibawah satu koordinasi.
“Dalam implementasi nya pasti akan rumit dan mudah terjadi saling menyalahkan. Ilmu management yang dianut menjadi aneh. Apakah pola seperti itu ada diterapkan di perusahaan migas sejenis lainnya di dunia?,†papar Ari.
Ari melanjutkan dirinya tidak bisa menemukannya, di lain pihak pola sistim yang berlaku saat ini telah berfungsi dengan baik sejak lama di negara kita yang sebagai negara kepulauan memiliki pola distribusi BBM dan LPG yang paling kompleks di dunia. Memang perlu diakui masih banyak ruang dan upaya yang perlu dilakukan untuk peningkatan efisiensi maupun kehandalannya.
Menurut Ari, Pertamina yang merupakan institusi yang besar dan kompleks, penyesuain yang harus dilakukan dengan nomenklatur direksi yang baru tersebut akan pasti perlu waktu cukup lama dan sangat beresiko menimbulkan kegaduhan berupa resistensi atas perubahan yang harus dialami pekerja di internal Pertamina yang bisa berdampak negatif pada keterjaminan supply BBM dan LPG.
“Padahal kita telah memasuki tahun politik yang justru perlu ketenangan dan kesejukan dalam bekerja agar keterjaminan supply BBM dan LPG yang merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup hampir semua orang dapat terus berlangsung tanpa gangguan yang berarti,†jelas Ari.
Selain itu Ari juga mengatakan dengan melihat keputusan untuk perubahan nomenklatur didasarkan atas identifikasi permasalahan yang salah dan dengan sendiri nya telah menghasilkan suatu konsep yang tidak tepat, maka sudah sewajarnya dibatalkan atau paling tidak ditunda, untuk kemudian dilakukan reevaluasi/pengkajian kembali yang intesif dan ekstensif.
“Kalau ditinjau dari tujuannya adalah untuk mengatasi kelangkaan terlihat tidak ada urgensinya untuk melakukan perubahan dengan masih adanya disparitas harga. Perubahan nomenklatur direksi tersebut malah justru akan meningkatkan resiko terjadinya kelangkaan. Satu satunya cara untuk meniadakannya adalah Pemerintah menerapkan kebijakan untuk menghapus total subsidi atau merubah subsidi komoditas menjadi subsidi langsung atau memberlakukan tata niaga distribusi tertutup dengan penjatahan,†pungkas Ari.
Laporan: Muhammad Hafidh