KedaiPena.Com – Setelah dikabarkan ‘hoax’, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan peristiwa di Lampung Selatan dan Anyer adalah tsunami.
Penegasan itu disampaikan Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono S.T., Dipl. Seis, M.Sc, Minggu malam (23/12/2019/8).
“Peristiwa tsunami terjadi di Pantai Barat Provinsi Banten pada tanggal 22 Desember 2018, malam hari sekitar pukul 21.27 WIB,” kata dia.
Berdasarkan informasi peristiwa tersebut, ia melanjutkan, BMKG segera melakukan analisis rekaman data sinyal seismik di beberapa sensor seismik terdekat dengan lokasi terjadinya tsunami.
Rahmat menambahkan, berdasarkan analisis sinyal seismik tidak didapatkan adanya rekaman gempabumi pada waktu yang berdekatan dengan waktu terjadinya tsunami di sekitar Banten dan Lampung.
Hasil pengamatan tidegauge (sementara), didapatkan data sebagai berikut:
a. Tidegauge Serang tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian 0.9m.
b. Tidegauge Banten tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35m.
c. Tidegauge Kota Agung Lampung tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36m.
d. Tidegauge Pelabuhan Panjang tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28m
“Peristiwa ini tidak disebabkan oleh aktifitas gempabumi tektonik. Kepada masyarakat dihimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,” harapnya.
Kata tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang. Tsu berarti pelabuhan, dan Nami berarti gelombang. Tsunami sering terjadi di Jepang. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 196 tsunami telah terjadi.
Pada beberapa kesempatan, tsunami disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir, persepsi ini telah dinyatakan tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas peneliti, karena gelombang pasang tidak ada hubungannya dengan tsunami. Persepsi ini dahulu populer karena penampakan tsunami yang menyerupai gelombang pasang yang tinggi.
Tsunami dan gelombang pasang sama-sama menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun dalam kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama, sehingga memberika kesan seperti gelombang pasang yang sangat tinggi.
Meskipun pengartian yang menyamakan dengan “pasang-surut” meliputi “kemiripan” atau “memiliki kesamaan karakter” dengan gelombang pasang, pengertian ini tidak lagi tepat. Tsunami tidak hanya terbatas pada pelabuhan. Karenanya para geologis dan oseanografis sangat tidak merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.
Dilansir dari berbagai sumber, hanya ada beberapa bahasa lokal yang memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi Peralai dalam Bahasa Tamil, ië beuna atau alôn buluëk (menurut dialek) dalam Bahasa Aceh adalah contohnya.
Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti “gelombang”. Di Pulau Simeulue, daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa Defayan, smong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong berarti tsunami.
Laporan: Muhammad Hafidh