Artikel ini Ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (Peps).
Menurut undang-undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), modal BUMN harus diperoleh dari kekayaan negara (yang dipisahkan), seperti tertuang di Pasal 4 ayat (1): Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pasal 4 ayat (2) berbunyi: Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. kapitalisasi cadangan; c. sumber lainnya.
Apa yang dimaksud dengan kekayaan negara?
Menurut undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan negara diperoleh dari pendapatan negara, seperti tercantum pada Pasal 1 ayat 13: Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Yang dimaksud kekayaan bersih tentu saja adalah kekayaan negara bersih.
Berdasarkan kedua undang-undang di atas, maka modal BUMN harus berasal dari pendapatan negara, karena kekayaan negara hanya bisa didapat dari pendapatan negara (yang tertuang dalam APBN).
Artinya, modal BUMN tidak boleh dari utang. Karena per definisi utang bukan merupakan kekayaan negara. bahkan utang adalah beban keuangan negara.
Kekayaan negara yang dipisahkan artinya kekayaan negara yang pencatatan pembukuannya dipisahkan dari APBN. Artinya, BUMN mempunyai pembukuan sendiri dan tidak ikut dalam APBN.
Kalau pendapatan negara (dalam hal ini berarti kekayaan negara) pada tahun tertentu sebesar Rp1.000 triliun, dan penyertaan modal (atau kekayaan yang dipisahkan) untuk BUMN sebesar Rp 50 triliun.
Maka pencatatan menurut undang-undang seharusnya sebagai berikut. Kekayaan negara (pendapatan negara) yang dikelola APBN sebesar Rp950 triliun dan kekayaan negara (pendapatan negara) yang dikelola BUMN sebesar Rp 50 triliun. Ini yang dimaksud dengan “modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Yang terjadi saat ini tidak seperti yang diamantkan kedua undang-undang di atas. Yang terjadi saat ini, penyertaan modal untuk BUMN dan lainnya, termasuk ‘investasi pemerintah’ di lembaga internasional yang tidak lain adalah iuran tetap, bersumber dari (pembiayaan) utang.
Artinya bukan bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan. Yang mana berarti melanggar undang-undang. Bukankah begitu? Lihat gambar di bawah.
Kalau realisasi APBN 2015-209 dikoreksi sesuai pengertian undang-undang (metode A), maka defisit anggaran terhadap PDB tahun 2015, 2016 dan 2017 masing-masing menjadi 3,6 persen, 3,7 persen dan 3,3 persen. Lebih besar dari batas maksimal 3 persen yang dibolehkan undang-undang keuangan negara ketika itu.
Berarti, pengelolaan APBN selama ini melanggar undang-undang mengenai penyertaan modal negara di BUMN, investasi negara di lembaga dan lembaga internasional, dan juga melanggar batas defisit anggaran.
Kepada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta para praktisi hukum, mohon penjelasannya.
[***]