KORAN Republika edisi Selasa 11 Juli 2017 memuat feature yang mengingatkan pada pemberitaan koran Sin Po, edisi 27 Maret tahun 1933. Isinya tentang dampak sosial yang terjadi akibat kesulitan ekonomi yang dialami oleh rakyat kecil akibat sistem ekonomi yang menindas.
Koran Republika mengisahkan Emrus, kuli panggul Pasar Tanah Abang, yang terpuruk akibat perekonomian nasional yang kian lesu. Emrus bapak tiga anak saban hari naik Kopaja dari rumahnya di Kali Deres ke Tanah Abang. Kerja jadi kuli panggul dengan upah tidak menentu, tapi saat ini upahnya semakin tidak jelas.
Emrus 47 tahun, jadi kuli panggul sejak 1980-an. Waktu itu tenaganya dibayar 250 rupiah untuk satu kali angkat karung. Duit sebesar itu katanya sekarang sudah sangat tidak berarti, karena masuk toilet umum saja mesti bayar 2.000 rupiah. Meski penghasilannya sebagai kuli panggul tidak menentu Emrus bersyukur bisa sekolahkan tiga anak. Anak pertama sudah lulus SMK, anak kedua SMP kelas tiga, dan anak ketiga di sekolah dasar.
Lebaran kemarin Emrus tidak mudik. Sekarang ekonomi lesu, padahal mendekati lebaran tahun lalu dia dan para kuli panggul lain bisa dapat penghasilan lebih daripada hari-hari biasa. ‘’Sekarang untuk bisa dapet seratus ribu saja sudah bagus banget,’’ kata Emrus.
Tahun lalu dalam satu hari ia masih bisa pulang bawa uang 150 sampai 200 ribu, bahkan bisa lebih saat puasa. Hari Senin yang lalu ia menunjukkan penghasilannya baru lima belas ribu rupiah. Uang itu didapatnya sejak ba’da subuh hingga pukul 11. 15 WIB.
Bukan cuma Emrus yang terhimpit, Wahyu, rekan Emrus sesama kuli panggul juga megap-megap. Hari Senin itu ia belum dapat uang sepeser pun karena tak ada barang yang mesti dia panggul. Aktivitas perdagangan di Pasar Tanah Abang memang tidak semenggeliat seperti tahun lalu. ‘’Tahun ini bener-bener sulit.’’katanya.
Para kuli panggul meradang, sedang para pemilik toko menjerit. Feri salah seorang pemilik toko di Pasar Tanah Abang mengatakan toko-toko umumnya sepi pembeli, yang berimbas juga ke jasa kuli panggul.
‘’Saling berkaitan. Kalau daya beli masyarakat rendah pasti terasa ke kita,’’ kata pemilik toko di Blok C Pasar Tanah Abang itu.
Daya beli menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat. Kalau daya beli menurun itu berarti pemerintah, dalam hal ini tim ekonomi di kabinet (yang dikomandani Menko Ekonomi termasuk Menkeu), telah gagal untuk mensejahterakan rakyat. Apa yang mesti dilakukan?
Tidak bisa lain selain:
1. Segera copot Menko Ekonomi dan Menkeu.
2. Laksanakan program ekonomi yang benar-benar pro rakyat, yang menyentuh langsung urat nadi ekonomi rakyat.
3. Presiden Jokowi butuh menteri operational leadership yang mempunyai track record yang jelas dan kuat berpihak kepada kepentingan rakyat. Menteri dengan ciri karakter dan etos kerja seperti ini dapat menyelamatkan eksistensi pemerintahan Jokowi hingga berlanjut pasca 2019.
4. Jokowi akan memiliki legacy yang sangat positif sebagai presiden pro rakyat apabila ditopang oleh pembantu (menteri bidang ekonomi) yang juga pro rakyat sejak dalam pikiran dan tindakannya.
5. Faham ekonomi neoliberal yang dipraktekkan menteri-menteri ekonomi saat ini telah menyesatkan Presiden Jokowi yang sejak awal ingin mewujudkan ideologi luhur Tri Sakti, Nawa Cita, dan Revolusi Mental. Karena itu ubah, banting haluan, dan buang jauh-jauh faham neoliberal dari tim ekonomi di kabinet.
6. Sisa waktu sekitar dua tahun lagi dalam periode pertama pemerintahan Jokowi adalah sangat menentukan, karena itu banyak yang berharap presiden tidak berjudi dengan waktu; tidak pula berjudi dengan memilih menteri ekonomi yang tidak memiliki track record yang terpuji, reputasi yang baik, integritas yang bersih, dan yang tidak memiliki komitmen keberpihakan kepada rakyat secara jelas.
7. Presiden Jokowi jangan sampai dijebak oleh para pembisik di sekitarnya untuk kembali memilih menteri ekonomi pro neolib, yang hanya pro pasar, dan pro IMF serta Wold Bank belaka, yang esensi kebijakannya potong anggaran dan mengutang.
Koran Sin Po, edisi 27 Maret 1933, menulis sebuah berita yang menggambarkan dampak lain akibat sistem ekonomi yang menindas rakyat kecil, yang kurang lebih sama melukiskan penderitaan wong cilik:
‘’Malaise hebat yang mengamuk dimana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk desa Trogong Kebayoran. Penduduk di situ rata-rata sudah tidak bisa dapatkan uang dan banyak yang kelaparan karena tidak punya duit buat beli makanan.
Salah satu orang nama Pungut juga alamken itu kesukeran yang hebat. Ia ada punya bini dan dua anak, sedang penghasilan sama sekali telah kepempet berhubung dengan jaman susah. Sementara itu ia punya beras dan makanan sudah habis.
Apa boleh buat saking tidak bisa tahan sengsara kerna sudah dua hari tidak punya beras, pada satu malam ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Djaja dan dari itu ia timpa 3 ekor ayam. Itu binatang kemudian ia jual di pasar buat 3 picis dan dari itu uang ia beli beras 15 cent. Blakangan Pungut ditangkep dan dibui 9 bulan. Anak bininya menangis di luar ruangan landraad. (Rep)’’.
Koran Sin Po dan Republika memotret kondisi sosial akibat sistem ekonomi yang menindas, di tahun 1930-an adalah akibat dari penjajahan Belanda dan malaise, serta sekarang di era 2017 adalah akibat dari kebijakan neoliberal, yang intinya sama saja yaitu menyengsarakan dan bikin susah rakyat kecil, kaum jelata, atau wong cilik.
Ada paralelisme sejarah yang esensinya: sistem ekonomi penjajah sama dengan sistem ekonomi neolib hari ini, dengan konduktor utama di kabinet seperti Sri Mulyani, Darmin, serta para anasir neolib lainnya. Saya sendiri sebagai wartawan mau berkhidmat untuk koran Sin Po yang di masa itu telah menjalankan Victims Journalism, jurnalisme yang memotret korban-korban dari ketidakadilan ekonomi, korban-korban dari ketidakadilan sosial, serta berbagai ketimpangan dan kejanggalan-kejanggalan lainnya di dalam masyarakat. Saya berkhidmat karena jurnalisme yang demikian itu sekarang sudah hampir punah.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior