KedaiPena.Com – Peningkatan impor baja sebesar 66 % yang terjadi pada Januari-Agustus 2021 dibandingkan periode yang sama tahun 2020 membuat PT Krakatau Steel (KS) mendapatkan kritikan.
Hal itu sampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik Fernando Emas saat merespon kinerja dari perusahaan plat merah pimpinan Silmy Karim. Fernando sapaanya menilai KS hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Padahal peningkatan impor baja bahan baku tersebut juga menunjukkan bahwa industri nasional mampu bergeliat pada masa pandemi Covid-19. Hal ini lantaran baja sendiri merupakan bahan baku berbagao produk konsumsi.
“Baik yang berada dalam lingkup produk turunan baja itu sendiri, maupun produk-produk lain yang lebih kompleks seperti otomotif, elektronika, hingga kemasan makanan. Jangan dilihat impornya saja, mari kita lihat juga bahwa ekspor produk baja meningkat tajam dibanding periode tersebut, mencapai lebih dari 1.500%. Angka itu belum memperhitungkan nilai tambah yang diperoleh sektor industri penggunanya, juga substitusi impor pada produk turunannya. Ini yang seharusnya dianalisis”, ujar Fernando, Minggu, (19/9/2021).
Fernandomenerangkan, jika di tengah masa pandemi covid 19, ketika perekonomian nasional masih berangsur pulih, sektor industri logam justru mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Pada semester 1 tahun 2021 mislanya sektor industri logam ini berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 18,3 %, jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya tercatat sebesar 7,01 %.
Tingginya laju pertumbuhan sektor industri logam tersebut didorong oleh meningkatnya utillisasi produksi dari 51,2% pada Januari 2021 menjadi 79,9% pada Juli 2021.
Selain itu masuknya investasi baru baik dari dalam maupun luar negeri turut mendukung laju pertumbuhan tersebut, terangnya.
Berdasarkan data yang dilansir BKPM, pertumbuhan investasi sector industri logam pada Triwulan II tahun 2021 sebesar 31,35% atau senilai USD 1,78 miliar dan Rp 1,67 triliun.
“Dukungan kebijakan pemerintah saat ini sangat tepat terutama pada pengembangan industri logam seperti supply demand yang terukur merupakan faktor kunci tingginya laju pertumbuhan tersebut,” tegas Fernando.
Fernando menambahkan, kalangan pengusaha memandang bahwa kebijakan pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasok dan kebutuhan baja nasional saat ini sudah tepat untuk menjaga laju pertumbuhan dan berharap agar kebijakan tersebut dapat terus dilakukan secara konsisten pada masa mendatang,
“Di tengah fenomena kenaikan impor baja yang terjadi pada paruh pertama tahun 2021, neraca perdagangan besi dan baja nasional justru mengalami surplus sebesar USD 2,7 miliar. Hal ini mengindikasikan bahwa impor dilakukan untuk menciptakan nilai tambah produk besi dan baja,” sela Fernando.
Fernando melihat bahwa persoalan impor baja ini adalah bentuk kegagalan Krakatau Steel yang tidak mampu menyediakan bahan baku baja di dalam negeri, walaupun investasi yang ditanam di BUMN ini sudah triliunan rupiah.
Menurut Fernando proyek mangkrak PT. Meratus Jaya Iron and Steel, anak perusahaan KS yang ada di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan yang sudah menyerap dana negara 2 triliunan lebih dari target 3,9 Triliun seharusnya bisa menutup defisit impor baja nasional.
“Jika terealisasi pabrik tersebut dapat menghasilkan slab, billet, dan bloom dari pengolahan biji besi,” tegas dia.
Fernando menambahkan, saat ini impor slab, billet, dan bloom nasional mencapai 3 juta ton yang diimpor oleh KS dan Anggota ISIA lainnya dengan nilai miliaran dollar per tahunnya.
Slab, billet, dan bloom sendiri merupakan bahan baku utama industri baja dan semuanya belum dapat diproduksi di dalam negeri.
“Hal ini merupakan bentuk kegagalan KS yang dipimpin Silmy Karim. Negara mengandalkan BUMN ini tetapi tidak dapat terwujud”, pungkas Fernando.
Lebih jauh, KS juga tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus.
Industri-industri tersebut tidak akan berkembang secara maksimal selama bahan baku bajanya tidak dapat dipasok dari dalam negeri. Alih-alih berusaha untuk melakukan diversifikasi produk, KS justru melakukan ekspansi ke sektor konstruksi yang merupakan sektor hilir.
Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat pada sektor hilir, mengingat saat ini sektor tersebut banyak diisi oleh industri berskala kecil-menengah (IKM). Selain itu, KS juga telah menikmati uang negara yang besar termasuk perlindungan BMAD.
Oleh karena itu, tegas dia, kinerja KS perlu dievaluasi lebih mendalam, mulai dari kebijakan perusahaan hingga operasionalnya.
“Saran saya, sudah saatnya KS memperoleh pimpinan baru yang mampu berpikir secara strategis dan visioner,” imbuh Fernando.
Senada dengan Fernando, Direktur Eksekutif RODA institute Ahmad Rijal Ilyas, melihat tata niaga baja yang dilakukan pemerintah sebetulnya sudah cukup bagus dan mempertimbangkan supply-demand baja dalam bentuk Hot Rolled Coil (HRC), Cold Rolled Coil (CRC), Coated Steel/Baja Lapis dan turunan baja lainnya dengan memperhatikan kebutuhan baja nasional.
“Jika KS mampu memasok kebutuhan produk-produk tersebut secara keseluruhan diyakini impor nasional akan berkurang baik dari sisi volume maupun jenis produk baja yang bermacam-macam untuk kebutuhan industri,” beber dia.
Sebelumnya Silmy Karim mengatakan impor baja yang berasal dari Tiongkok terindikasi dumping dan pengalihan pos tarif (circumvention). Silmy juga menerangkan impor tersebut banyak menggunakan unsur Boron sebagai unsur paduan yang digunakan untuk mengubah pos tarif HRC Carbon dengan HS Code 7208 ke HRC Alloy dengan HS Code 7225.
Menurut Ahmad Rijal pelaku impor HRC ini dilakukan oleh pabrikan produk turunan yang juga juga anggota IISIA. Seharusnya Ketua IISIA bisa menertibkan anggotanya yang melakukan pengalihan HS untuk menghindari tarif bea masuk.
Di satu sisi, sebagian besar impor juga dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas impor jalur prioritas [Mitra Utama Kepabeanan, dan Autorized Economic Operator (AEO)].
Tercatat 50,6% impor baja dilakukan oleh produsen yang memiliki fasilitas tersebut dan juga anggota pabrikan IISIA.
Impor pada jalur prioritas dapat dilakukan tanpa adanya Pre-shipment Inspection (PSI), suatu proses yang memverifikasi kesesuaian produk baja yang diimpor dengan dokumen impornya, yang dilakukan oleh Surveyor (KSO Sucofindo-Surveyor Indonesia atau Anindya Wiraputra Consult).
“Justru ini pertanyaan besar,” tegas Ahmad Rijal.
Ahmad Rijal juga menyoroti investasi Hot Strip Mill (HSM) 2 oleh KS untuk produksi Hot Rolled Coil (HRC).
Menurut Rijal investasi itu baik karena pasar baja dalam negeri sangat menjanjikan, namun tidak dapat menyelesaikan masalah impor bahan baku.
“Operasi HSM 2 sangat bergantung pada bahan baku impor, yang saat ini terjadi pada HSM 1 yang telah beroperasi lebih dulu,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi