Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pengamat Geopolitik.
Kalau buku karya Carl von Clausewitz, ‘On War’ dibaca para perwira menengah calon jenderal atau para mahasiswa pascasarjana politik dan miiter, buat saya bukan hal luar biasa.
Namun ketika seorang seniman musik Bob Dylan membaca Clausewitz, nah ini baru luar biasa dan spektakuler.
Lebih luar biasanya lagi, cara pandang Bob Dylan dalam memaknai buku monumental Clausewitz ini sama sekali nggak kebayang bagi siswa-siswa Akademi Militer, yang mana buku Clausewitz itu jadi buku bacaan wajib.
Dalam memoarnya bertajuk Bob Dylan Cronicles, dia menulis: “Buku-buku Clausewitz mungkin terlihat ketinggalan zaman, tetapi ada banyak hal yang benar-benar terjadi”.
“Kita juga bisa memahami kehidupan konvensional dan tekanan dari lingkungan hanya dengan membacanya. Ketika dia mengklaim bahwa politik sudah mengambil alih moralitas dan merupakan kekuatan yang kasar, dia tidak sedang main-main. Kita harus percaya.”
Penglihatan tembus pandang Bob Dylan dalam memaknai ‘On War’ memang bisa bikin para pamen siswa Sesko TNI atau Sesko AD-AU-AL terhenyak.
Mengingat selama ini para perwira militer di seluruh dunia yang dibekali buku Clausewitz ini memandang ‘On War’ cuma teori perang atau paling banter pelajaran perihal falsafah perang.
Dalam penglihatan Bob Dylan yang tidak biasa itu, Clausewitz dalam ‘On War’ sebenarnya bicara tentang adanya ruang gelap yang bersemayam dalam diri manusia.
Bahwa politik itu bukan cuma soal melanggar moralitas, bahkan politik itu gambaran mental manusia dalam sisi tergelapnya untuk memaksakan tujuannya kepada orang lain secara paksa.
Dan ketika memaksa secara halus gagal, maka politik berubah jadi perang. Memaksa orang lain memenuhi keinginannya tidak lagi dengan paksaan halus, tapi kasar dan vulgar.
Buku Clausewitz memang serba suram. Namun buat Bob Dylan justru di sinilah ‘On War’ merupakan pencerahan.
“Tanpa disadari, beberapa hal dalam bukunya dapat menempa ide-ide kita. Jika kita pikir kita pemimpi, kita bisa membaca buku itu dan menyadari bahwa kita sendiri juga tak mampu bermimpi. Mimpi itu berbahaya.”
Begitupun seusai baca Clausewitz, Bob Dylan sepertinya kembali membumi sebagai seniman. Mengakhiri renungan bacaanya dengan berkata: “Membaca buku Clausewitz membuat kita tidak perlu ambil pusing dengan pikiran kita sendiri.”
Clausewitz merupakan Gubernur Militer Jerman sejak 1812, dan selama 18 tahun berikutnya, menyusun buku On War.
Buku yang kelak jadi buku wajib para siswa akademi dan sekolah staf komando militer di seluruh dunia termasuk TNI kita, terbit setelah Clausewitz wafat pada 1831.
Para jenderal top negeri kita mulai dari Abdul Haris Nasution, TB Simatupang, Sayidiman sampai Prabowo Subianto, pernah baca buku itu. Namun saya yakin tak seimajinatif Bob Dylan dalam menyerap sesuatu yang tak tertulis dalam isi buku itu.
Apa yang tak tertulis dalam isi buku tapi terkandung dalam karya Clausewitz. Pertama masukilah relung-relung kegelapan karena dari situlah kamu memperoleh pencerahan dan cahaya terang.
Kedua, dunia itu gila dan kacau balau. Tapi itu harus kamu lihat dengan mata kepala sendiri. Bukan katanya-katanya.
Berarti Dylan mau bilang, kalau kamu tahu persis macam apa gila dan kacaunya dunia, kamu akan tahu bahwa kacau dan gila itu ada polanya. Dari pemahaman akan pola itu kau akan tahu bagaimana mengubah dunia.
Ketiga, kamu harus sadar bermimpi itu bagus, tapi bermimpi pun bukan perkara gampang. Selama kamu merasa sedang bermimpi, sebetulnya kamu belum bermimpi.
Bagaimana, dahsyat kan.
[***]