Artikel ini ditulis oleh Tom Pasaribu, S.H, M.H., Pengamat Politik
Undang-undang dasar 1945 Pasal 23 E ayat 1: Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri
Semenjak era Reformasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dengan undang-undang Nomor 15 Tahun 2006, yang mana dalam pasal 4 berbunyi; BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden.
Posisi anggota BPK saat ini diisi oleh keterwakilan dari partai, sebagai bukti dari 9 anggota BPK yang ada saat ini 6 keterwakilan kader partai, dengan catatan DPR memilih dan menetapkan kader partai menjadi anggota BPK periode 2022 – 2027 pengganti Harry Azhar yang wafat pada Desember 2021. Dengan demikian DPR melanggar pasal 23E UUD 1945 dengan sengaja dan sesadar-sadarnya.
Calon anggota BPK yang terpilih harus menjadi kader partai ataupun anggota DPR yang sedang aktif atau kader partai yang gagal menjadi anggota DPR.
Untuk mengisi kekosongan anggota BPK pada Tahun 2019, DPR memilih dan menetapkan 5 anggota BPK dengan posisi 4 dari kader partai politik, dan 1 dari ASN BPK. Pelanggaran yang dilakukan DPR dalam pemilihan anggota BPK pada tahun 2019, adalah persyaratan dan makalah yang dijadikan sebagai penilaian, padahal ada calon yang memasukkan makalah setelah pendaftaran tutup tapi jadi anggota BPK terpilih, DPR melanggar pasal 198 ayat (2) tatib DPR Nomor 1 tahun 2024.
Melihat ketidak adilan yang dilakukan Pansel dan DPR saat itu, penulis mengambil inisiatif melaporkan Pansel pemilihan seleksi anggota BPK ke MKD, laporan penulis saat itu sangat cepat direspon dan ditindak lanjuti oleh MKD, 3 kali sehari penulis dihubungi dari sekretariat MKD supaya sidang segera terlaksana, tentu laporan penulis sesuai dengan syarat dan peraturan, saat penulis sidang di MKD yang memimpin sidang saat itu saudara Dasco, untuk meminta keterangan dari penulis dan tim atas laporan penulis, bahkan dalam sidang pemimpin bertanya apakah penulis mengetahui adanya aliran uang dalam seleksi anggota BPK?
Dengan tegas penulis menjawab bahwa penulis tidak mengetahui, tapi penulis mendengar informasi tentang apa yang dipertanyakan yang mulia pemimpin sidang.
Sampai saudara Dasco menjadi Wakil DPR saat ini penulis tidak pernah mengetahui apa hasil dari persidangan penulis di MKD yang dipimpin saudara Dasco, tentang kecurangan Pansel dan Anggota DPR dalam seleksi Anggota BPK tahun 2019.
Prinsip penulis melaporkan seleksi anggota BPK, sebab penulis melihat seleksi yang dilakukan DPR curang serta tidak berkeadilan dan melanggar peraturan, dengan tujuan agar DPR melaksanakan seleksi sesuai dengan perintah UUD 1945 pasal 23E serta UU yang berlaku dan berkeadilan.
Ternyata seleksi calon anggota BPK semakin tidak manusiawi dan beretika, boleh dikatakan makin barbar karena sudah tidak sesuai dengan petintah UUD 1945, Pancasila dan UU yang berlaku, hal ini dapat kita lihat sesuai dengan pelaksanaan seleksi calon anggota BPK tahun 2021 dan 2022.
Pada Tahun 2021 DPR melakukan seleksi kembali untuk memilih dan menetapkan calon anggota BPK, walaupun Nyoman Adhi Suryadnyana yang saat itu pejabat di Dirjen Bea dan Cukai tidak memenuhi syarat sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 pasal 13 huruf j yang berbunyi; paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat dilingkungan pengelola keuangan negara. Tapi DPR tetap memaksakan kehendaknya dengan memilih dan menetapkan Nyoman jadi anggota BPK periode tahun 2021-2026.
Untuk mengamankan posisi Nyoman sebagai anggota BPK bermasalah saat ini Nyoman ditugaskan di Anggota 1 yang membidangi hukum, agar lembaga hukum tidak berani membatalkan keberadaan Nyoman di BPK yang mana sampai saat ini prosesnya masih berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Intinya dengan sengaja seluruh anggota BPK menciptakan conflic interest.
Pada tahun 2022 DPR memilih dan menetapkan Ismayatun dan Haerullah Saleh anggota BPK yang mana keduanya adalah kader partai politik. Pada saat Haerullah mendaftar calon anggota BPK, Haerullah sedang menjabat jadi Anggota DPR Komisi XI, dalam pemilihan tersebut DPR sangat sadar bahwa pencalonan Haerullah akan menimbulkan conflik interest, namun anggota DPR temenutup mata atas kesalahan dan kecurangan yang terjadi, akhirnya DPR tidak patuh dan taat kepada Konstitusi dan Pancasila.
Saat ini BPK sudah tidak bebas dan mandiri sesuai dengan perintah UUD 1945 pasal 23E, karena sudah dikuasai oleh kader-kader partai yang tidak memiliki keilmuan dalam auditor, wajar kalau kinerja dan capaian BPK saat ini menurun drastis. Kondisi ini semakin parah dengan banyaknya anggota dan ASN BPK yang tersandung hukum tapi ditutup-tutupi meskipun fakta dalam persidangan sudah jelas, maupun tertangkap OTT.
Jokowi sebagai filter terakhir yang diharapkan patuh dan taat terhadap UUD 1945 serta undang-undang yang berlaku, ternyata turut serta memuluskan pelanggaran konstitusi yang dilakukan DPR, dengan cara menerbitkan Kepres untuk melantik para anggota BPK yang cacat hukum.
Efek dari pelanggaran Konstitusi dan Pancasila, APBN setiap tahunnya bocor yang mengakibatkan keuangan negara kosong, serta jumlah hutang pemerintah sudah mencapai 7000 triliun. Beberapa Perusahaan-perusahaan yang merongrong keuangan negara dibeberapa lembaga negara tidak dilakukan audit.
Akhirnya pemerintah memeras rakyat untuk mengisi kas negara dengan cara menaikkan semua pajak dan iuran, kenaikan BBM, Listrik, biaya kesehatan, biaya pendidikan, membuat tarif pajak sembilan kebutuhan pokok, menaikkan tarif pajak, menjual aset-aset negara. Penulis khawatir tidak tertutup kemungkinan kedepan pemerintah akan memberlakukan iuran sekali bernafas dipungut biaya untuk mengisi Kas Negara.
Penulis menorehkan tulisan ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi saat ini, penulis berpandangan bahwa perintah Pembukaan dan pasal demi pasal UUD 1945 dan Pancasila, belum dijalankan Presiden dan DPR sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkan disaat pelantikan.
Semoga bermanfaat
Batu tulis, 14 Juni 2022
(###)