HARI ini Tanggal 11 Januari 2017, Pansus RUU terorisme mulai melakukan Pembahasan atas RUU Terorisme. Rencananya Rapat hari ini selain melakukan rapat pimpinan terkait RUU terrorisme dan juga melakukan pembahasan Pansus RUU terorisme.  Sebelumnya  pada tanggal akhir tahun lalu, 14 Desember 2916,  Panitia Khusus (Pansus) RUU Terorisme telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke pihak pemerintah. DIM ini merupakan catatan khusus dari fraksi-fraksi di DPR terhadap RUU yang di rumuskan oleh Pemerintah.
Salah satu perhatian khusus dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terhadap pembahasan awal RUU Terorisme adalah soal definisi dan pengertian terorisme. Menururt ICJR perumusan Definisi Terorisme sangat penting dan merupakan  pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, maka peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme akan terus terbuka.
Menurut ICJR, Definisi Teroris ini memang tak pernah ditemukan dalam UU No. 15 Tahun 2003. Demikian pula dalam UU No. 9 Tahun 2013  tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Bahkan dalam RUU yang di rumuskan oleh pemerintah, pengertian terorisme ini juga sengaja tidak dicantumkan. Walaupun Pemerintah tidak memasukkan substansi ini, namun  ICJR berharap Pansus RUU terorisme secara sungguh-sungguh mempetimbangkan usulan untuk memberikan defenisi atas terorisme.
Untuk melawan terorisme, masyarakat internasional telah membuat mekanisme khusus untuk menangani persoalan – persoalan terorisme salah salah satunya melalui pembentukan Counter-Terrorism Committee (CTC) dan Counter-Terrorism Executive Directorate (CTED). Namun beragam upaya ini juga masih membuat masyarakat internasional tidak mampu membuat kesepakatan untuk menyetujui definisi universal dari terorisme. Ketiadaan definisi yang universal menyebabkan upaya masyarakat internasional memerangi terorisme ternyata juga memiliki dampak negatif terhadap perlindungan hak asasi manusia.
U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism juga menegaskan bahwa pengaturan tindak pidana terorisme harus diatur dengan Undang – Undang dengan bahasa yang presisi, termasuk menghindari terminologi yang kabur
Untuk keperluan menerapkan defisini yang memadai dan dapat diterima secara universal, PBB juga telah menunjuk seorang Pelapor Khusus yang diberi nama U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism yang bekerja berdasarkan mandat Resolusi 2005/80 dari Komisi HAM PBB dan diperkuat oleh Resolusi 60/251 dari Dewan HAM PBB.
Terkait mandat tersebut, U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism telah membuat laporan. Khusus untuk definisi Terorisme, U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism juga telah membuat laporan spesifik tentang definisi yang lebih universal terkait dengan terorisme dan penghasutan untuk melakukan tindakan teror. Dalam laporannya, ditegaskan bahwa kebijakan, hukum, dan praktik dari pemberantasan terorisme harus dibatasi khusus dan didefinisikan secara cermat hanya untuk tujuan pemberantasan dan pencegahan terorisme.
Penggunaan terminologi yang meluas mengenai terorisme dapat membawa potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Kegagalan dalam membatasi aturan dan upaya pemberantasan dan pencegahan terorisme dapat juga mengurangi penikmatan hak asasi dan kebebasan dasar dan mengabaikan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas (necessity and proportionality) yang mengatur tentang pembatasan terhadap hak asasi manusia.
Karena itu U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism mengusulkan definisi terorisme sebagai berikut berdasarkan elemen-elemen berikut dibawah ini:
Terorisme adalah perbuatan atau upaya percobaan dimana perbuatan tersebut pada pokoknya ditujukan untuk menyatakan permusuhan yang bertujuan untuk menimbulkan kematian atau mengakibatkan luka yang serius terhadap satu atau sekelompok orang atau melibatkan kekerasan fisik yang serius atau mematikan terhadap satu atau sekelompok orang.
Terrorism means an action or attempted action where:
1.      The action:
a.     Constituted the intentional taking of hostages; or
b.     Is intended to cause death or serious bodily injury to one or more members of the general population or segments of it; or
c.      Involved lethal or serious physical violence against one or more members of the general population or segments of it;
And
2.      The action is done or attempted with the intention of:
a.     Provoking a state of terror in the general public or a segment of it; or
b.     Compelling a Government or international organization to do or abstain from doing something;
atau jika diterjemahkan dengan merujuk pada konteks nasional dapat diartikan sebagai “Terorisme adalah perbuatan atau upaya percobaan dimana perbuatan tersebut pada pokoknya ditujukan untuk menyatakan permusuhan yang bertujuan untuk menimbulkan kematian atau mengakibatkan luka yang serius terhadap satu atau sekelompok orang atau melibatkan kekerasan fisik yang serius atau mematikan terhadap satu atau sekelompok orang dan perbuatan tersebut dilakukan dengan niat untuk menimbulkan keadaan atau situasi yang menimbulkan ketakutan yang serisu dalam di masyarakatâ€
Sementara untuk penghasutan untuk melakukan terorisme, U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism mengusulkan definisi sebagai berikut It is an offence to intentionally and unlawfully distribute or otherwise make available a message to the public with the intent to incite the commission of a terrorist offence, where such conduct, whether or not expressly advocating terrorist offences, causes a danger that one or more such offences may be committed. atau jika diterjemahkan dengan merujuk pada konteks nasional dapat diartikan sebagai “Perbuatan yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan mendistribusikan pesan kepada masyarakat dengan maksud untuk menghasut terjadinya tindakan terorisme yang dilakukan secara terang-terangan ataupun pesan tersebut mengandung maksud untuk menganjurkan perbuatan terorisme yang menyebabkan bahaya bagi masyarakat apabila perbuatan tersebut telah dilakukanâ€
Karena Ketiadaan definisi terrorisme secara universal, komprehensif dan tepat akan menjadi masalah bagi perlindungan HAM. Oleh karena Komite Ad Hoc yang dibentuk di bawah resolusi Majelis Umum No 51/210 yang menyusun rancangan Konvensi komprehensif terorisme internasional, untuk memastikan bahwa istilah terrorisme haruslah  dibatasi penggunaannya hanya untuk perbuatan yang benar-benar yang bersifat teroris.
Tiga tahap karakterisasi terorisme berdasarkan  resolusi dewan keamanan 1566 ( Tahun 2004 ) yang dapat digunakan untuk mencegah  dan merespon kejahatan  terorisme, tiga hal tersebut harus  memenuhi syarat secara kumulatif, Yakni
a.      acts committed with the intention of causing death or serious bodily injury, or the taking of hostages; (Bertindak yang dilakukan dengan tujuan dari menyebabkan kematian atau cedera tubuh serius, atau melakukan sandera);
b.     for the purpose of provoking a state of terror, intimidating a population, or compelling a Government or international organization to do or abstain from doing any act; (untuk tujuan teror terhadap negara, mengintimidasi populasi, atau  memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu)
c.      constituting offences within the scope of and as defined in the international conventions and protocols relating to terrorism. Similarly, any criminalization of conduct in support of terrorist offences should be restricted to conduct in support of offences having all the above characteristics. In the prohibition of terrorist conduct, it is important for States to ensure that prescriptions to that effect are accessible, formulated with precision, applicable to counter-terrorism alone, non-discriminatory, and non-retroactive.(Merupakan pelanggaran dalam lingkup dan sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Internasional dan protokol-protokol yang berkaitan dengan terorisme. Demikian pula, setiap kriminalisasi pelaku yang mendukung serangan teroris harus dibatasi hanya untuk melakukan untuk pelanggaran yang memiliki semua karakteristik di atas. Dalam setiap pembatasan tindakan teroris, penting bagi negara untuk memastikan bahwa formulasi yang berlaku efektif, diformulasikan dengan presisi, dengan sendirinya berguna untuk melawan terorisme,  bersifat non-diskriminatif dan tidak berlaku surut)
ICJR  berharap Pansus Terorisme berhasil merumuskan pengertian terorisme dalam Pembahasan  awal rancangan Undang-Undang. ini agar Undang-Undang  Terorisme yang dimiliki Indonesia lebih kuat dan  lebih komprehensif dalam melakukan pencegahan dan penegakan tindak Pidana Terorisme.
Oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)