KedaiPena.Com – Harga jual baja produksi industri dalam negeri kalah bersaing dengan baja impor seperti baja asal China dan Vietnam. Baja impor asal China misalnya, harganya 28% lebih murah dibandingkan baja dalam negeri.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi VI DPR Amin Ak saat merespon peningkatan impor baja pada semester I-2021 tercatat meningkat 51,18% atau mencapai US$ 5,36 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Neraca perdagangan baja saat ini sangat terkait tiga hal: harga, kualitas, dan upaya perlindungan/proteksi terhadap produksi baja dalam negeri.
“Mengapa harga baja China lebih murah? Pertama, pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor yang besarnya mencapai 13-15%. Ekspor ini ditujukan kepada pengusaha yang mengekspor baja paduan (alloy),” kata Amin Ak, Rabu, (22/9/2021).
Amin Ak menegaskan, perpaduan sendiri ialah baja khusus yang biasanya digunakan untuk rel kereta api, komponen alat berat, dan lain-lain.
“Kedua, pemerintah menerapkan kebijakan bebas bea masuk impor baja paduan karena Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan. Ketiga, sebagian bahan baku industri baja di dalam negeri masih harus dipenuhi dari impor sehingga berdampak pada biaya produksi dan harga jual yang tinggi,” tegas Amin Ak.
Amin Ak memaparkan, saat ini industri baja dalam negeri terutama Krakatau Steel mengimpor bahan baku industri baja berupa slab, billet, dan bloom yang volumenya mencapai 3 juta ton.
“Masalah kualitas dan daya saing baja produksi dalam negeri terkait erat dengan penguasaan teknologi yang tertinggal dibandingkan sejumlah negara produsen baja seperti China dan Vietnam,” papar Amin Ak.
Sebagai contoh, kata Amin Ak, Krakatau Steel tidak mampu menghasilkan produk-produk baja engineering steel yang dibutuhkan sebagai bahan baku produk-produk bernilai tambah tinggi.
Produk tersebut seperti otomotif, permesinan, pertahanan, penerbangan, pengeboran minyak dan peralatan-peralatan khusus.
“Sehingga jenis baja seperti ini harus dipenuhi dari produk impor,” tegas Amin Ak.
Amin Ak juga menekankan, proteksi atau perlindungan produk baja dalam negeri masih lemah serta pengawasan terhadap impor baja juga lemah.
“Berdasarkan jenisnya, terdapat dua jenis baja yang digunakan di Indonesia, yakni baja untuk kebutuhan konstruksi dan baja untuk teknik atau engineering. Jenis baja untuk kebutuhan teknik, saat ini lebih banyak digunakan untuk industri otomotif dan elektronika,” papar Amin Ak.
Amin Ak menegaskan, akibat pengawasan lemah, banyak pengusaha yang memanfaatkan celah sehingga mereka mengimpor baja dengan dalih untuk kebutuhan engineering seperti otomotif dan elektronika.
“Namun sebetulnya baja impor tersebut digunakan proyek konstruksi,” tutur Amin Ak.
Dengan demikian, tegas Amin Ak,
pemerintah dapat melindungi produksi dalam negeri dengan memberikan insentif dan menerapkan bea masuk tinggi bagi produk baja impor.
“Industri baja dalam negeri harus mengupgrade kemampuan teknologi dan industrinya agar kualitas produk yang dihasilkan tidak kalah dengan kualitas produk impor, bisa memenuhi kebutuhan dunia industri di dalam negeri,” tutur Amin Ak.
Amin Ak berharap, pemerintah juga dapat menekan biaya produksi dan biaya logistik agar harga jual produk bisa lebih murah.
“Penguasaan teknologi juga mencakup kemampuan untuk memanfaatkan cadangan pasir besi yang besar di Pantai Jawa dan beberapa daerah lainnya. Saat ini pasir besi itu belum bisa diolah karena belum dikuasainya teknologi pengolahan pasir besi menjadi baja. Pemerintah harus bersikap tegas mengenai ketentuan porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada proyek konstruksi pemerintah pusat maupun daerah. Porsi TKDN harus diperbesar. Cara ini efektif untuk mendorong produsen lokal masuk ke pengadaan barang jasa proyek pemerintah maupun BUMN,” tandas Amin Ak.
Laporan: Muhammad Hafidh