KedaiPena.Com – Dalam perspektif ekonomi politik, pemerintahan yang baru dilantik, biasanya selama tiga bulan, mendapat insentif lebih dukungan publik yang luas. Di masa ini, ekspektasi publik juga positif karena gairah ekonomi naik.
Namun tidak demikian dengan masa awal pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dalam tiga bulan ini hal yang diharapkan justru yang datang adalah kebalikannya. Ada banyak kegaduhan dan perekonomian juga semakin memburuk.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) Ubedilah Badrun di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
“Semestinya energinya yang hadir adalah positif sehingga bisa mendongkrak kondisi ekonomi negara secara umum,” kata akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
“Namun hal itu ternyata hanya menjadi khayalan belaka. Kegaduhan malah terus terjadi, di antaranya soal Menteri Agama, lalu skandal BUMN, dan ekonomi yang terus memburuk karena neraca perdagangan justru defisit,” ujar aktivis 98 ini.
Berdasarkan analisis tersebut, Ubedilah menyimpulkan hal tersebut terjadi karena data memang menunjukan kondisi perekonomian yang memburuk.
“Neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 negatif. Neraca dagang tercatat rugi atau tekor US$ 1,33 miliar. Angka tersebut berasal dari ekspor November 2019 sebesar US$ 14,01 miliar dan impor sebesar US$ 15,34 miliar,” jelasnya.
Dengan total nilai impor US$ 15,34 miliar, maka dibandingkan Oktober 2019 impor naik 3,94%. Peningkatan impor terjadi baik di komoditas migas maupun non migas.
“Keadaan seperti inilah yang membuat Jokowi mulai emosional,” imbuh Ubed, sapaannya.
Ubedilah menyatakan masa bulan madu pemerintahan baru ini telah gagal dimanfaatkan sebagai momentum pemulihan ekonomi nasional.
“Kedepan situasi ini bisa jadi makin memburuk jika Jokowi tidak hati-hati masih menggunakan pola lama sekedar sibuk bertahan dari gempuran ekonomi global. Minus inisiatif,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh