MENURUT UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa pajak merupakan kewajiban warga negara yang bersifat memaksa. Barangkali ahli hukum juga akan sepakat bahwa, sifat wajib dari sebuah ketentuan hukum tidak bisa dihapuskan.
Jadi, dengan logika itu pula bahwa UU tentang tax amnesty batal demi hukum karena saling bertentangan dan akhirnya hanya sebuah political theatrical atas ketidakmampuan otoritas ekonomi dalam menyelesaikan masalah keuangan negara.
Kenapa begitu dan buktinya apa? Sebab uang pengemplang pajak itu sejatinya sudah keluar masuk dalam bentuk hot money di pasar bursa, dalam setiap perubahan politik selalu saja dihubungkan dengan kondisi pergerakan pasar saham dan uang.
Artinya memang ada permainan yang dilakukan orang-orang tertentu yang mengelola institusi keuangan ini dan mencoba mempengaruhi keputusan-keputisan politik, namun sejatinya tidaklah ada hubungan langsung kebijakan politik NKRI yang akan diambil oleh otoritas pemerintahan dengan pergerakan ekonomi nasional RI.
Karena selama krisis ekonomi berulangkali sekalipun ekonomi masyarakat kita mampu bertahan dan berjalan dengan normal walau ada sedikit goncangan dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang dipengaruhi oleh tindakan para distributor.
Sasaran hasil yang hendak dituju oleh pengampunan pajak ini juga tidak signifikan dalam membantu defisit APBN P 2016, alih-alih memperkuat postur keuangan negara dalam meningkatkan ekskalasi pembangunan nasional dan perbaikan pelayanan publik oleh kementerian/lembaga, sebaliknya Menteri Keuangan hasil reshuffle kabinet jilid 2 yang juga mantan Menteri Keuangan di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono malah akan memotong atau memangkas anggarannya.
Hal serupa yang pernah berulangkali dilakukannya pada saat menjabat posisi ini. Peetanyaanya adalah, apakah memang tidak ada opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka menyelamatkan defisit dan postur APBN P 2016?
Seharusnya dengan kepiawaian yang dimiliki oleh Sri Mulyani Indrawati, maka opsi lain seharusnya dapat dilakukan, seperti optimalisasi penerimaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan rasionalisasi remunerasi dewan manajemennya, melakukan efisiensi dalam berbagai program dan kegiatan antar kementerian/lembaga yang saling tumpang tindih dan tidak relevan dengan tugas pokok dan fungsi mereka.
Dari aspek kebijakan anggaran pro rakyat, trisakti dan nawacita, oleh karena itu, sangatlah relevan pemerintah memperkuat fundamental ekonomi masyarakat melalui kebijakan affirmatif pada sebagian besar aktor ekonomi nasional ini tapi asset ekonomi dan sumbangan PDB-nya masih belum signifikan.
Jadi kenapa anggaran kementerian/lembaga yang selalu dipotong, apalagi PNS nya belum menerima kebijakan remunerasi dan pajak apanya dan siapanya yg mau diampuni?
Oleh Defiyan Cori, Ekonom, Ketua Forum Ekonomi Konstitusi