KedaiPena.Com – Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi mengatakan, bahwa kesepakatan perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport hanya akal-akalan semata.
Hal itu, kata Fahmy, dikarenakan tidak adanya penjabaran secara rinci dari pemerintah atas kesepakatan perundingan dengan PT Freeport Indonesia. Padahal, rugi atau tidaknya posisi Indonesia atas perundingan itu tergantung pada rincian mufakat yang akan dituangkan dalam kontrak yang mengikat.
“Tanpa pengaturan detail berpotensi menimbulkan konflik baru. Lantaran Freeport akan membuat akal-akalan mirip divestasi zaman Rezim Soeharto, sehingga Freeport tetap pemegang mayoritas saham,†kata dia secara tertulis, Rabu (30/8).
Selain itu, Fahri pun menilai kalau Pemerintah ingin menggunakan APBN untuk mengambil saham divestasi menjadi 51 persen, niscaya keampuan keuangan negara akan terganggu. Untuk itu dia menyarankan konsorsium maupun holding BUMN yang saham tersebut.
“Tidak ada alasan untuk meragukan Indonesia sebagai operator Freeport. Alasannya, 98 persen SDM di Freeport adalah anak-anak bangsa Indonesia, yang nantinya akan tetap bekerja pada saat Indonesia menjadi operator. Kalau masih dibutuhkan ‘expert’ asing bisa direkrut. Kalau butuh teknologi bisa dibeli,†pungkasnya.
Seperti diketahui, Pemeritah Indonesia telah menyepakati sejumlah hal dengan PT Freeport Indonesia. Dalam negosiasi itu, Pemerintah bersama Freeport telah menyempatkan sejumlah hal seperti pembangunan smelter, divestasi, perpajakan, dan perpanjangan kontrak.
Meski pemerintah mengklaim penerimaan negara akan lebih baik dari sebelumnya, namun pemerintah tidak berani menyatakan secara gamblang apakah perpajakan nanti menggunakan naildown atau prevailing.
Kemudian terkait pembangunan smelter dan divestasi, dua hal ini belum juga dijabarkan prosesnya dan penentuan nilainya, sehingga dapat dikatakan kesepakatan antara pemerintah dan Freeport baru hanya sebatas seremoni.
Laporan: Muhammad Hafidh