KedaiPena.com – Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menginginkan presiden penggantinya bagian dari estafet kepemimpinan nasional serta mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bicara perihal mimpinya bersama mantan Presiden Megawati Sukarnoputri dan Jokowi naik kereta api dalam satu gerbong yang tiketnya diberikan presiden pengganti Jokowi, Analis Politik dari FISIP Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, dalam politik Indonesia, presiden pengganti umumnya adalah lawan politik bahkan musuh politik dari presiden sebelumnya. Presiden baru, tokoh yang berbeda pandangan politik dengan presiden sebelumnya.
“Konflik politik yang tidak bisa diselesaikan menjadi konsensus politik mengakibatkan terjadinya kepemimpinan nasional yang bukan merupakan penerus presiden sebelumnya. Itu fakta politik dari teori konflik dan konsensus politik yang tidak bisa terbantahkan dalam kontestasi politik, termasuk di Indonesia,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Ia menyatakan baik Jokowi maupun SBY boleh saja memiliki harapan dan mimpi tapi fakta dinamika politik pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia, menunjukkan kenyataan berbeda.
“Ada fakta politik di mana publik melihat ada konflik politik antara Jokowi dengan bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan yang tidak terbantahkan. Di antara kedua tokoh ini terjadi perbedaan pendapat, persaingan, bahkan pertentangan dalam kebijakan maupun keputusan politik. Hal itu biasa dalam politik praktis, untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber-sumber kekuasaan,” ucapnya.
Ginting mengungkapkan politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan.
“Biasanya bermula dari kontroversi-kontroversi yang berujung menjadi suatu konflik politik yang tidak bisa dihindari. Karena ini konflik elite politik, muaranya adalah persaingan dalam mendapatkan kekuasaan negara, seperti jabatan presiden,” ucapnya lagi.
Lebih lanjut, ia menyebutkan pertemuan antara anak dari mantan Presiden Megawati Sukarnoputri, yakni Puan Maharani, dan anak dari mantan Presiden SBY, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merupakan upaya melakukan konsensus politik. Sebab komunikasi politik antara kedua mantan presiden itu bisa dianggap dingin. Tidak ada komunikasi interpersonal di antara SBY dengan Megawati.
“Mimpi SBY, diamnya Megawati, dan harapan Jokowi masuk dalam kategori komunikasi intrapersonal. Jadi seperti komunikasi dengan dirinya sendiri. Melakukan perenungan dan intinya sedang melakukan imajinasi politik,” kata Ginting.
Sebagai gambaran, Ginting menyampaikan peristiwa pergantian kepemimpinan nasional sejak era Presiden Sukarno hingga era Presiden SBY. Umumnya presiden pengganti pernah bersama dalam pemerintahan presiden sebelumnya.
“Sukarno cenderung menginginkan Subandrio yang diberikan tiga jabatan penting, yakni Wakil Perdana Menteri 1, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Badan Pusat Intelijen. Sukarno lebih ingin Subandrio menjadi penggantinya, bukan Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto. Tapi kenyataan politik, Jenderal Soeharto mendapatkan dukungan rakyat untuk menjadi pengganti Sukarno setelah peristiwa G30S/PKI dan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 dengan ujungnya pembubaran PKI,” paparnya.
Begitu juga dengan Presiden Soeharto, dimana jelang pengumuman lengser dari tahta kepresidenan, Soeharto menginginkan Wakil Presiden BJ Habibie juga bersama-sama lengser dengan dirinya. Soeharto cenderung lebih ingin Menhankam Pangab Jenderal Wiranto yang menggantikannya. Dia tidak menghendaki Habibie menjadi Presiden penggantinya. Bahkan Habibie dianggap berkhianat terhadap dirinya.
“Namun realitas politik yang terjadi, Wakil Presiden BJ Habibie tidak bersedia mundur dan secara konstitusi otomatis naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, Soeharto tidak bersedia berkomunikasi dengan Habibie,” paparnya lagi.
Setelah era reformasi, lanjut Ginting, ternyata pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie juga ditolak anggota MPR. Sehingga Habibie menghentikannya untuk maju dalam pemilihan presiden 1999. Laporan pertanggungjawaban Presiden yang ditolak ini juga mirip ketika pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak MPRS tahun 1967.
Akhirnya Partai Golkar sebagai pendukung BJ Habibie mengalihkan dukungannya kepada Abdurachman Wahid (Gus Dur) saat berkompetisi melawan Ketua Umum PDIP Megawati dalam pemilihan presiden 1999. Megawati kalah, padahal partainya tampil sebagai pemenang pemilu legislatif.
Gus Dur kemudian meminta Megawati bersedia menjadi wakil presiden mendampingi dirinya untuk masa bakti 1999-2004. Gus Dur memimpin sejak 20 Oktober 1999. Dalam perjalanan pemerintahannya, ia banyak membuat kebijakan kontroversial, sehingga dilengserkan dari jabatannya oleh MPR pada 23 Juli 2001.
Misalnya, penghapusan Tap MPR yang membahas tentang PKI, mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan tentang pembubaran parlemen, dan banyak lagi, termasuk memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR. Gus Dur digantikan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Gus Dur menuduh Megawati bersama Ketua MPR Amien Rais berada di belakang pelengseran dirinya.
Setelah Megawati menjadi presiden, pada Maret 2004 terjadi peristiwa mengejutkan. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan surat permohonan mengundurkan diri sebagai menteri. Hubungan Presiden Megawati dengan SBY pun menjadi dingin. Keduanya kemudian saling berhadapan dalam Pemilu 2004, dan hasilnya SBY tampil sebagai pemenang pilpres.
Terakhir pada pemilu 2014, masa akhir pemerintahan Presiden SBY. Dalam pemilu Partai Demokrat yang berada di bawah kendali SBY awalnya netral, namun kemudian memilih berpihak kepada capres Prabowo Subianto daripada mendukung capres Jokowi dari PDIP. Akhirnya yang tampil sebagai pemenang pilpres adalah Jokowi.
“Jelas Megawati tidak menghendaki SBY sebagai penggantinya. Kemudian SBY juga tidak menghendaki Jokowi sebagai penggantinya. Tapi nyatanya, realitas politik justru menjawab capres yang tidak dikehandaki presiden terdahulu, tampil sebagai pemenang pilpres,” kata Ginting.
Hal tersebut, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan juga dari keinginan tentang perubahan. Dalam teori perubahan sosial, maka perubahan merupakan keniscayaan. Bagaikan roda yang sedang berputar dan perputaran itu tidak akan dapat dielakkan siapa pun dan tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun.
“Kita tidak tahu apakah perubahan sosial dilakukan secara evolusi secara lambat atau secara revolusi dengan cepat dan keras. Itulah realitas politik,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa