KedaiPena.Com – Pengamat Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat mengatakan sejumlah pimpinan kepala daerah menunjukan inkompetensinya menangani lonjakan COVID-19 pasca mudik dan libur Lebaran 2021.
“Kegagapan kepala daerah dalam menangani pandemi COVID19 terlihat di berbagai daerah seperti Kudus, Boyolali, Bangkalan, Madura dan Kota Bandung,” kata Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulis, Senin, (7/6/2021).
Achmad Nur Hidayat yang juga Direktur Eksekutif Narasi Institute menunjukan bahwa gagapnya kepala daerah terlihat dari lalainya mengantisipasi BOR (bed occupacy rate) di daerahnya masing-masing.
“BOR (Bed Occupacy Rate) atau tingkat keterisian tempat tidur pada fasilitas kesehatan seperti di Kudus (90 persen) dan di Bandung (79,9%) sudah melampaui standar WHO, seharusnya saat BOR di level 60% yaitu level maksimum standar WHO, kepala daerah melakukan antisipasi membentuk fasilitas lapangan di daerahnya masing-masing,” papar Achmad Nur Hidayat yang disapa ANH.
ANH menyayangkan, pasien positif dilarikan ke kota dan kabupaten terdekat lantaran kepala daerah gagal mengantisipasi angka BOR.
Menururnya, di larikannya pasies ke kota dan kabupaten tetangganya akan menyebabkan sebaran COVID-19 pasca Lebaran 2021 semakin tidak dapat dibendung.
“Seharusnya, bila kepala daerah bekerja baik, langsung membentuk fasilitas isolasi lapangan saat BOR ICU dan BOR Isolasi COVID19 di level maksimum WHO yaitu 60 persen, sehingga saat sudah mencapai 100 persen, warganya tidak perlu dilarikan ke RS kota/kabupaten terdekat,” papar ANH.
ANH melihat kelalaian ini karena kemalasan pimpinan daerah memantau data BOR setiap saat. Bila kepala daerah mengetahui cepat data BOR sudah mencapai maksimum, mereka dapat koordinasi dengan pemerintah pusat, BNPB, TNI dan Polri dalam penyiapan fasilitas RS darurat di wilayahnya sehingga tidak perlu dibawa ke daerah lain diluar otoritasnya.
“Pasien COVID19 yang tidak tertampung kemudian dilarikan ke RS di kota/kabupaten lain menyebabkan PPKM mikro gagal total karena membahayakan daerah lain. Kegagalan ini disebabkan kepala daerah yang inkompeten dan malas memantau data BOR untuk daerahnya masing-masing, padahal bila mereka melihat BOR sudah mencapai 60 persen, mereka dapat koordinasi cepat dengan Pemerintah Pusat, TNI, Polri dan BNPB untuk menyelengarakan RS darurat lapangan di daerah masing-masing,” tegas ANH.
ANH berharap BNPB dan Pemerintah pusat memulai inisiatif dalam menyelengarakan RS lapangan di daerah dengan BOR ICU dan BOR Isolasi diatas 60 persen.
Hal ini, kata dia, harus dilakukan tanpa menunggu permintaan kepala daerah sehingga pasien segera mendapatkan pertolongan pertama dan tidak perlu dibawa keluar kecamatan atau kabupatennya untuk menghindari potensi Tsunami COVID seperti di India.
“BNPB harus bertindak cepat menyelenggarakan RS Lapangan untuk di sejumlah daerah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jawa Timur angka BOR yang mencapai level tinggi 60-70% adalah Kabupaten Bangkalan, Kota Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Tulungagung, BOR dengan Level sangat tinggi diantaranta Kabupaten Madiun (80%), Banggkalan Madura (80%). Sementara di di Jawa Tengah diantaranya Kudus (100%), Boyolali (karena limpahan pasien kudus), Demak dan Klaten. Sementara di Jawa Barat, BOR Kota Bandung Raya mencapai level 79,9 persen. Fasilitas Kesehatan di Kota Bandung diduga akan collapse karena melaonjaknya pasien COVID,” tutur dia.
ANH menyerukan, kepada Kepala Daerah diantaranya Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Khofifah Indar Parawansa untuk amati BOR ICU Dan BOR Isolasi di wilayahnya masing-masing.
“Tolong Bapak Ridwan Kamil, Bapak Ganjar Pranowo, Ibu Khofifah Indar Parawansa dan kepala daerah lainnya, lakukan tugas anda sebagai kepala derah yang baik yaitu fokus saja observasi data BOR setiap saat. Stoplah pencitraan 2024, rakyat membutuhkan anda di garis terdepan, Koordinasi dengan instansi terkait bila BOR ICU dan Isolasi di wilayah kerja anda telah mencapai 60 persen dan segera buat RS lapangan, jangan terlambat,” pungkas ANH.
Laporan: Muhammad Hafidh