KedaiPena.com – Membenahi mutu pendidikan Indonesia, yang saat ini terpantau rendah, bukan lah sesuatu hal yang bisa dilakukan dengan gaya ‘bangun candi semalam’. Tapi membutuhkan rangkaian kebijakan dan komitmen dari pemerintah. Bukan hanya besar anggaran tapi tak ada evaluasi.
Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji menyatakan untuk membenahi mutu pendidikan, yang pertama perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi atas anggaran pendidikan.
“Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2024 mencapai Rp4.960,77 triliun. Sangat besar anggarannya tapi pengelolaannya berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, dimana telah dievaluasi oleh berbagai pihak,” kata Indra, Rabu (31/1/2024).
Bahkan, lanjutnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal.
“Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49, dimana seharusnya mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBD diluar gaji pendidik. Bisa dicek datanya di Neraca Pendidikan Daerah melalui link npd.kemdikbud.go.id,” ujarnya.
Langkah kedua yang harus dilakukan pemerintah, adalah memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Sebagaimana pesan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan, ynag menyatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga sentra yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.
“Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les atau bimbingan belajar. Karena apa? Karena semua berujung ke skor atau angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana,” ujarnya lagi.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu.
“Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara “nyogok” pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?” kata Indra lebih lanjut.
Seharusnya, menurut Indra, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah.
“Dua hal ini belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional,” ungkapnya.
Langkah ketiga, Indra mengharapkan pemerintah bisa lebih memperluas akses pendidikan. Karena, dengan program yang aa saat ini, baik itu Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
“Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah,” ungkapnya lagi.
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, dinyatakan Indra tidak terbukti bisa meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen. Jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya.
“Sebaiknya pemerintah berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain, dengan membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100 persen biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta. Lalu, merubah sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa. Pemerintah juga dapat membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa