KedaiPena.com – Pendidikan Indonesia tidak akan pernah mampu menghasilkan generasi muda yang berkualitas dan mampu bersaing di tingkat global jika pemerintah dan pemimpin negeri ini tak bisa menjadikan pendidikan sebagai isu utama negara ini.
Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji menyatakan pendidikan di Indonesia bukanlah isu seksi. Bahkan, tak ada media yang mengangkat isu pendidikan jika tidak ada kasus atau jika bukan Hari Pendidikan Nasional.
“Isu ini sangat penting walaupun bukan topik seksi. Saya setuju jika dikatakan geopolitik mempengaruhi sistem pendidikan. Tapi perlu saya tekankan, it takes two to tango. Butuh dua orang untuk berdansa tango. Artinya, pengaruh luar penting, begitu pula faktor internal,” kata Indra dalam salah satu diskusi, ditulis Jumat (9/6/2023).
Jika bicara tentang pengaruh Amerika Serikat, pada Jepang, Jerman atau Korea Selatan, memang bisa disebutkan Amerika Serikat berhasil.
“Tapi pada Philipina mereka gagal. Ini bisa dilihat pada hasil PISA Philipina yang ada di bawah Indonesia,” urainya.
Indra lalu menyampaikan tentang Singapura dan Finlandia, yang lebih mengandalkan kekuatan dari dalam negaranya.
“Singapura itu nol sumber daya alamnya. Hanya punya sumber daya manusia. Coba kita ingat salah satu berita di media utama Indonesia, saat pemerintah Pak Jokowi menaikkan harga BBM. Dikatakan, Indonesia bergantung pada impor BBM dari Singapura. Singapura tidak punya minyak, Indonesia negara penghasil minyak. Artinya, Singapura yang pinter banget atau kita yang bodoh banget,” urainya lagi.
Ia mengungkapkan masalah Indonesia, bukan hanya bicara angka partisipasi di tingkat perguruan tinggi. Di tingkat pendidikan dasar saja angka partisipasinya masih jauh dari amanat konstitusi.
“Pasal 31 ayat 2 menyatakan setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini belum dipenuhi. Siapa pun pemimpin Indonesia saat ini,” kata Indra.
Indra menyatakan pemimpin Indonesia saat ini belum sepenuhnya peduli pada pendidikan Indonesia sesuai amanat konstitusi.
“Faktanya, hingga saat ini 3 persen usia SD yang belum sekolah, 20 persen usia SMP yang tidak sekolah dan dari yang sudah bersekolah masih banyak yang di swasta, bukan pemerintah. Harusnya pemerintah bikin yang akses pendidikan sesuai konstitusi dulu, tidak usah bikin yang aneh-aneh. Ini baru akses, belum mutu. Lebih parah lagi,” ujarnya.
Disampaikan, level kemampuan membaca anak Indonesia saat ini, sesuai laporan Bank Dunia, adalah functionally illiterate atau buta huruf secara fungsi.
“Secara bunyi benar tapi tidak bisa memahami apa yang dibaca. Itu sama saja dengan anak Indonesia tidak bisa belajar. Karena apa yang dibaca tidak dipahami,” ujarnya lagi.
Profesi guru pun, lanjutnya, tidak dianggap sebagai profesi yang terhormat.
“Zaman saya kuliah, IKIP itu adalah tujuan terakhir setelah tidak diterima di universitas lainnya. Dan saat lulus pun, menjadi guru adalah pilihan terakhir saat tidak diterima bekerja di tempat lain. Tidak seperti di negara lain yang guru itu menjadi posisi terhormat. Bahkan hanya di Indonesia, negara yang punya guru honorer dan mau digaji Rp100 ribu per tiga bulan,” kata Indra.
Dari APBN Pendidikan yang 20 persen dari total anggaran, hanya 55 persennya yang dipergunakan sepenuhnya untuk kebutuhan pendidikan dari tingkat PAUD hingga S3. Sementara 45 persennya tidak jelas alokasinya.
“Dan anggaran pendidikan tidak diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Artinya kan tidak taat konstitusi. Kontrol pendidikan dari DPR pun terpecah-pecah. Kemendikbud mitranya Komisi X, Kemenag untuk madrasah mitranya Komisi VIII, sementara untuk transfer daerah di bawah Kemendagri, mitranya Komisi II dan Keuangan mitranya Komisi XI,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa