KedaiPena.com – Pembedaan surat izin mengemudi dinyatakan memang perlu dilakukan untuk menyesuaikan kapasitas mesin, potensi kecepatan kendaraan, dan jalur jalan raya mana kendaraan itu bisa dipergunakan. Sehingga, dapat terbentuk suatu keteraturan dalam jalur dan kecepatan sesuai dengan kapasitas mesin roda dua di Indonesia.
“Di banyak negara, surat izin bagi pengendara 250 cc dengan 500 cc itu memang berbeda. Karena berkaitan dengan jalur atau jalan mana mereka bisa lalui, juga ukuran motornya, dan kecepatan motornya,” kata Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS), Selasa (4/6/2024).
Sebagai contoh, di Malaysia, surat izin bagi pengendara motor itu kodenya B, dengan pemisahan menjadi B, B1 dan B2. Adapun ketentuannya adalah B untuk kendaraan roda dua di bawah 250 cc, B1 itu adalah untuk motor dengan kapasitas 250 hingga 500 cc, dan B2 untuk 500 cc ke atas.
“Bahkan mereka mengenal surat izin mengemudi tipe A, khusus bagi penyandang disabilitas dan C khusus untuk bentor (becak bermotor, Red),” paparnya.
BHS menjelaskan, pengaturan ini bukan hanya didasarkan pada ukuran kendaraannya saja tapi juga kecepatan kendaraan tersebut.
“Bahkan di Malaysia, juga ada ketentuan, motor dengan kapasitas di atas 250 cc itu bisa masuk ke jalan tol, dengan kecepatan yang bisa mencapai 120 km per jam. Jadi memang membutuhkan aturan yang berbeda,” paparnya lagi.
Contoh negara lainnya yang juga menerapkan perbedaan jenis SIM untuk kendaraan roda dua adalah Vietnam. Di mana negera tersebut memberlakukan dua jenis SIM bagi motor, yaitu A1 bagi pengguna motor dengan kapasitas di bawah 175 cc dan A2 untuk pengguna motor dengan kapasitas di atas 175 cc.
“Untuk kecepatan motor itu dibatasi. Yang di bawah 175 cc, kecepatan maksimal adalah 50 km per jam. Sementara, yang di atas 175 cc, kecepatannya tak dibatasi. Seharusnya di Indonesia pun bisa diberlakukan hal yang sama. Ada pembatasan kecepatan sesuai dengan kapasitas motor,” imbuhnya.
Ia menyatakan, dengan adanya perbedaan jenis surat izin mengemudi ini, seharusnya ujian pengambilan SIM pun harus menyesuaikan.
“Tidak bisa dalam pengujian itu hanya berbeda jarak saja. Misalnya, untuk yang di bawah 250 cc jarak tempuh saat tes itu sekian, lalu untuk yang 500 cc ditambah dua atau tiga meter. Tidak bisa begitu. Karena harus dilihat bagaimana kemampuan pengendara tersebut disaat mengendalikan kendaraan roda duanya pada kecepatan tinggi. Mampu tidak pengendara itu mengendalikan motornya saat kecepatan tinggi,” kata BHS tegas.
BHS menambahkan, dengan adanya aturan ini, pemerintah juga harus mempertimbangkan jalur khusus motor, untuk dipergunakan oleh kendaraan roda dua dengan kapasitas mesin di bawah 250 cc dan kecepatan maksimal antara 60 hingga 70 km per jam.
“Kalau sudah di atas 250 cc, maka mereka bisa masuk jalur mobil atau jalan tol, dengan kecepatan maksimal 120 km per jam. Dengan perbedaan ini, tentunya dibutuhkan SIM yang berbeda juga,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan dengan adanya perubahan ini, pemerintah melalui Korlantas Polri juga harus melakukan sosialisasi terkait manfaat dari dibedakannya surat izin mengemudi ini.
“Masyarakat juga harus tahu manfaat dari regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Jangan hanya buat regulasi tapi tidak ada manfaatnya. Dan satu hal lagi, harga pembuatan SIM C kita itu kan paling mahal se Asia Tenggara, jadi saya mengimbau sebaiknya harganya diturunkan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa