KedaiPena.com – Menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mengatakan bahwa BBM Pertamax sampai saat ini juga masih disubsidi, Pengamat Migas Yusri Usman menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
Ia menjelaskan bahwa menurut Perpres No 191 tahun 2014, Pertamax 92 jenis BBM umum, penentuan harga jualnya diberikan kewenangan penuh bagi badan usaha, seperti Pertamina, AKR, Shell.
“Jika menurut Pertamina bahwa Pertamax 92 dengan kualitas Euro 2 dijual Rp12.250 masih dibawah keekonomiannya, maka kerugian itu jadi tanggung jawab Pertamina. Tidak ada urusan dapat subsidi dari pemerintah. Salahnya Pertamina, karena tidak bisa efisien,” kata Yusri saat dihubungi, Rabu (31/8/2022).
Ia juga menyampaikan bahwa BBM Penugasan adalah Pertalite, untuk menggantikan Premium.
“Harus diketahui, selain ada komorbid atau penyakit bawaan Pertamina yang rentan terhadap posisi harga minyak mentah dunia, ternyata proses bisnis di Pertamina tidak efisien dari hulu ke hilir,” kata Yusri selanjutnya.
Komorbid yang dimaksud Yusri, antara lain adalah beberapa kontrak-kontrak LNG jangka panjang yang saat ini sudah disidik KPK, pembelian Participating Interest (PI) blok migas di luar negeri yang dananya bersumber dari penjualan global bond Pertamina, yang katanya sudah mencapai 10 miliar Dollar Amerika, diduga indikasi hengkinya kental.
“Selain itu diduga terjadi juga proses ‘hengki pengki’ atas proses akuisisi PI tersebut, termasuk tidak efisiennya kilang kilang Pertamina, Biaya Pokok Produksinya (BPP) tinggi, mungkin akibat kilangnya sudah tua tua, proyek RDMP (Refinery Development Master Plan) tak ada duitnya,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ternyata tidak efisiennya proses bisnis Pertamina secara menyeluruh juga berimbas langsung ke masyarakat sangat dirugikan sebagai pengguna BBM. Yaitu tidak bisa menikmati harga BBM murah dan berkualitas yaitu standar Euro 4. Terbukti BBM Pertamina yang memenuhi standar Euro 4 hanya jenis Pertamax Turbo dan Pertamina Dex, selebihnya standar Euro 2.
“Jelas ini jadi penyebab buruknya kualitas udara di kota-kota besar Indonesia, tentu yang menjadi korban adalah kesehatan masyarakat di pinggir jalan yang menghirup udara kotor itu bisa menimbulkan penyakit, padahal mereka bukan pengguna langsung BBM,” ucapnya lagi.
Dijelaskan Yusri, jika dibandingkan harga BBM di Indonesia dengan Malaysia saja, periode 3 Agustus 2022 hingga 11 Agustus 2022, BBM Pertamina sudahlah sangat mahal dan buruk kualitasnya.
“Data terakhir ini menunjukkan bahwa, harga jual BBM jenis RON 95 di Malaysia hanya RM2.05 atau Rp6.850 per liter, diesel RM 2.15 atau Rp7200 per liter. Kedua jenis tersebut ada subsidi RM2,05 perliter. Untuk Gasoline RON 97 tanpa subsidi seharga RM4.55 atau Rp15.200 perliter dengan nilai tukar 1RM adalah Rp3.340,” kata Yusri.
Lebih lanjut kata Yusri, harga Gasoline Ron 97 berkualitas Euro 5 Malayasia tanpa subsidi ini jika dibandingkan dengan harga keekonomian Pertalite Rp17.200 saja tentu perbedaannya seperti bumi dengan langit, meskipun dijual Rp7.650 per liter di SPBU, karena disubsidi Pemerintah Rp9.500 per liter.
“Coba buka apa yang telah dikatakan Dirut Pertamina Nicke Widyawati di media Kompas, 11 Juli 2022. Bahwa PT Pertamina Patra Niaga terpaksa menjual Pertalite Rp7.650 per liter, seharusnya Rp17.200 perliter. Ini buktinya BBM standar Euro2 tetapi jauh lebih mahal dari Gasoline Ron 97 standard Euro 5 di Malaysia di harga Rp 15.200 perliter,” tuturnya.
Padahal Gasoline 95 Malaysia sudah Euro4 dengan kandungan sulfur 50 ppm. Kualitasnya jauh di atas Pertamax 92 yang masih Euro2 dengan kandungan sulfur masih 500 ppm.
“Ini sangat menyedihkan,” tuturnya lagi.
Parahnya lagi, lanjut Yusri, setelah terbentuk holding dan subholding, sistem pembelian minyak mentah dan produk BBM kembali ke sistem sebelum ISC terbentuk pada September 2008 oleh Arie Soemarno.
Jadi, kata Yusri, kehandalan kilang dan proses pembelian minyak mentah, melalui ISC subholoding PT Kilang Pertamina International dan pembelian produk melalui ISC (Integrated Supply Chain) yang sekarang di bawah Subholding PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN).
“Kedua fungsi ISC Subholding tersebut di bawah koordinator Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Holding, Mulyono,” kata Yusri.
Jika merujuk keterangan Corsec PT PPN Irto Ginting dan Pjs Corsec PT Kilang Pertamina International Mila Suciani yang dikonfirmasi oleh CERI pada Jumat (5/8/2022), rerata setiap hari PT PPN import gasoline sekitar 400.000 barel perhari, dan PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) mengimport minyak mentah dari berbagai negara sejumlah sekitar 400.000 barel perhari.
“Karena PT KPI hanya menyerap produksi minyak mentah dalam negeri sekitar 563.000 barel per hari dari total produksi minyak mentah nasional saat ini hanya sekitar 616.000 barel per hari meskipun ada janji angin sorga petinggi migas bisa mencapai 1 juta barel produksi minyak ditahun 2030.Tetapi Irto Ginting tak menjawab ketika kami kejar pertanyaan mana lebih murah jika PT PPN import produk BBM dari Singapore dibandingkan belanja dari PT Kilang Pertamina. Diamnya Irto, secara implisit bisa diartikan benar bahwa harga BBM produk kilang Pertamina lebih mahal,” ungkapnya.
Pola pembelian model Pertamina yang seperti ini, menurut Yusri ikut menyumbang ketidakefisiensinya Pertamina.
“Bisa jadi kemahalan hasil produk kilang terpaksa harus dibeli oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Maka wajar jika cash flow PPN akhir-akhir ini berdarah-darah selama harga minyak dunia tinggi, tetapi ketika tidak diperkenankan menaikan harga jual BBM umumnya di SPBU,” ungkapnya lagi.
Ia juga menyampaikan, ada dugaan pengaturan tender pengadaan LPG 3 kg untuk kebutuhan jangka panjang 5 tahun, yang diduga diatur pada saat menjelang hari lebaran tahun 2019.
“Kami sudah laporkan ke petinggi KPK lewat pesan whastapp, tetapi entah mengapa tidak direspon?” kata Yusri.
Sebagai bukti lain soal tidak efisiennya kilang Pertamina, Yusri menyampaikan, pernah diakui sendiri oleh Dwi Sutjipto yang kala itu menjabat sebagai Dirut Pertamina tahun 2016. Bahkan saat itu, Pertamina telah mengirimkan minyak mentah milik Pertamina dari Libya dan Irak (West Qurna 1) ke kilang milik Exxon di Singapura.
“Menurut Dwi Sutjipto, kebijakan tersebut dinyatakan menghemat biaya pengolahan Pertamina mencapai hingga Rp132 miliar per bulan, jejak digitalnya ada. Bahkan, Ibu Nicke pada tahun 2020 di saat awal pandemi Covid19, ketika harga minyak mentah jatuh di bawah USD 20 perbarel, harga produk BBM diluar negeri jauh lebih murah dari harga produk kilang Pertamina, sempat Nicke berucap apa perlu kilang Pertamina dihentikan operasinya? Karena saat itu harga produk BBM sangat murah dibandingkan harga keekonomian BBM dari Kilang Pertamina,” ujarnya.
Artinya, kata Yusri, sistem pembelian ISC dan tidak efisiennya kilang, pola tunjuk langsung sesama anak usaha di balik topeng Sinergi Inkorporasi, kontrak jangka panjang LNG dan pembelian PI (Participating Interest) blok migas diluar negeri yang diduga penuh hengki pengki, itu semua merupakan komorbidnya Pertamina.
Terbukti, hasil produksi minyak Pertamina Hulu International dari 13 negara hanya 97.000 barel perhari, tidak signifikan dengan uang Pertamina yang sudah digelontorkan sekitar USD 10 miliar, bandingkan saja dengan produksi minyak Blok Rokan 161.000 barel perhari.
“Sehingga Pertamina rentan jika harga minyak mentah terlalu tinggi atau terlalu rendah melampaui batas psikologis BPP yang tidak efisien baik di hulu maupun di hilir,” ujarnya lagi.
Yusri mempertanyakan, wajarkah ketidakefisienan Pertamina ini ditanggung oleh rakyat, jika pemerintah menyetujui kenaikan harga BBM.
“Dimana letak keadilan bagi semua rakyat Indonesia yang harusnya bisa menikmati harga BBM terjangkau dan berkualitas tidak merusak kesehatan masyarakat luas,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa