KedaiPena.com – Pengamat Pendidikan Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji menyebutkan mutu pendidikan Indonesia saat ini sangat penting untuk mulai dibenahi. Karena hasil dari kebijakan sektor pendidikan saat ini, hanyalah data yang menyayat hati.
“Untuk memperbaiki mutu pendidikan ini, tak bisa dilakukan sekejap mata, seperti kisah pembangunan candi Roro Jonggrang. Tapi dibutuhkan perubahan, yang tak hanya anggaran saja tapi juga mind set dalam pembangunan pendidikan,” kata Indra saat dihubungi, Kamis (2/5/2024).
Ia menyebutkan, langkah pertama yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan evaluasi atas anggaran pendidikan.
“Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2024 saja sudah mencapai Rp4.960,77 triliun. Sangat besar anggarannya tapi pengelolaannya berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, dimana telah dievaluasi oleh berbagai pihak. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal,” ungkapnya.
Bahkan Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBD di luar gaji pendidik.
Langkah kedua, lanjutnya, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Hal ini merujuk pada pernyataan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan yakni ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga sentra, yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.
“Selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les atau bimbingan belajar, semua berujung ke skor atau angka di sekolah, bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus di Universitas Lampung dan Universitas Udayana,” ungkapnya lagi.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu.
“Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara “nyogok” pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?” kata Indra.
Ia menegaskan, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah.
“Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional,” ucapnya.
Langkah ketiga adalah pemerintah harus membuka akses pendidikan. Karena fakta menyatakan, meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.
“Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah,” ucapnya lagi.
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, tidak terbukti meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen.
“Jumlah tersebut sangat tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya, yang tahun 2024 ini bahkan menyentuh angka Rp600 triliun lebih,” tegas Indra.
Ia meminta pemerintah untuk berkonsentrasi memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Seperti, membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100 persen biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana atau prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya.
“Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa