KedaiPena.com – Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono mengaku sangat memahami kekahwatiran masyarakat akan naiknya harga BBM subsidi atau dengan isu yang baru-baru ini berkembang, yaitu pembatasan subsidi bahan bakar Pertalite.
“Itu lah yang selalu saya sampaikan, bahwa penting sekali pemerintah memastikan adanya transportasi publik yang memiliki konektivitas antar moda yang luas sampai ke titik poin yang mereka tuju dengan jadwal yang tepat waktu sesuai dengan keinginan masyarakat, dan harga yang terjangkau dengan aman, selamat dan nyaman,” kata BHS, Senin (9/9/2024).
Misalnya, transportasi bus itu seharusnya diatur jadwalnya tepat waktu dan berhenti di lokasi yang ditentukan oleh Pemerintah dan terinformasikan ke publik. Misal melalui Terminal dan Sub Terminal yang ditentukan oleh Pemerintah. Faktanya saat ini masih sering terjadi, angkutan bus berhenti di sembarang tempat. Seperti misalnya di Terminal Tipe A Sri Tanjung Brawjiaya di Banyuwangi, bahkan terminal tersebut sering dilewati oleh bus antar provinsi dan bahkan lewatnya bus tidak bisa ditentukan waktunya.
Ditambah juga harga yang di rasa masyarakat masih terlalu mahal dibanding dengan daya beli masyarakat saat ini. Ia menegaskan bahwa sederet kesulitan dalam menggunakan Transportasi Publik membuat masyarakat tidak dapat mempercayai transportasi publik ditambah juga keamanan dan keselamatannya tidak terjamin.
“Kalau memang aman, nyaman dan murah, maka masyarakat menengah ke bawah pasti naik transportasi publik dan tidak ada yang menggunakan transportasi pribadinya. Seperti di Jepang, Cina, Korea dan negara negara Eropa. Tidak ada itu masyarakat menengah ke bawah dan bahkan atas pun tidak menggunakan transportasi pribadi, karena transportasi publiknya bisa lebih dipercaya karena harga yang terjangkau, waktunya pasti , tepat, nyaman dan aman serta selamat,” ungkapnya.
Ditambah, lanjut BHS angkutan publik nya terintegrasi dengan moda lanjutan. Sehingga masyarakat terakomodir sampai ke tujuan akhir perjalanannya.
“Atas dasar kondisi ini sudah seharusnya Pemerintah memiliki kewajiban untuk mensubsidi BBM bagi transportasi pribadi. Hingga Pemerintah bisa betul betul sanggup merealisasikan transportasi publik yang aman, nyaman, murah, dan tepat waktu,” ungkapnya lagi.
“Di Malaysia, konektivitas transportasi publik masih jauh lebih baik dibanding dengan Indonesia, tapi Pemerintah mereka masih merasa belum bisa memberikan transportasi publik yang terintegrasi sampai ke tujuan akhir perjalanan masyarakat. Konsekuensinya, Pemerintah Malaysia memberikan subsidi 100 persen untuk kendaraan pribadi dengan BBM Subsidi Oktan 95 seperti misalnya Petrol 95 dengan harga 2.05 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp6.970, untuk 17.2 juta mobil dan 16.7 motor. Dan tidak ada pembatasan pembelian BBM subsidi, dan bahkan BBM non subsidi oktan 97 pun di tekan harganya hingga 3.40 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp11.560. Dan masih ada lagi Natural Gas Vehicle (NGV) dengan harga sekitar 1.05 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp3.950,” kata BHS tegas.
Sedangkan di Indonesia, Pemerintah memberikan BBM Subsidi Pertalite oktan 90 dengan harga Rp10.000 untuk 17.1 juta mobil dan 125 juta motor, tetapi sebagian, sekitar 40 persen masyarakat tidak mau menggunakan BBM Subsidi Pertalite, karena mutunya kurang bagus. Dan masyarakat banyak yang akhirnya menggunakan BBM Pertamax yang oktannya di atas Pertalite. Tetapi Pemerintah masih memberlakukan pembatasan pembelian BBM Subsidi Pertalite dari jenis kendaraan maupun jumlah kebutuhannya.
Ia menegaskan seharusnya Pemerintah Indonesia tidak membatasi pembelian BBM Subsidi Pertalite untuk kendaraan pribadi, seperti yang dilakukan oleh Malaysia.
“Sudah seharusnya Pemerintah bisa memahami psikologi masyarakat menengah kebawah, bahwa mereka terpaksa untuk menggunakan transportasi pribadi, karena tidak ada jaminan transportasi publik yang baik. Kenapa saya bilang terpaksa? Karena mereka harus menanggung risiko kelelahan, kepanasan, kehujanan, kecelakaan, keamanan dan kehausan dan kerusakan kendaraan, apalagi dengan adanya infrastruktur jalan yang kurang memadai,” ujarnya.
“Bila ada transportasi publik yang memadai, pasti mereka akan menggunakan transportasi publik. Sehingga masyarakat bisa menghemat tenaga dan beristirahat di transportasi publik sampai ke tempat tujuan mereka. Jadi Pemerintah diberikan dua pilihan, bisa menyediakan transportasi publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau memberikan subsidi BBM untuk transportasi pribadi mereka,” pungkas Bambang Haryo.
Laporan: Ranny Supusepa