KedaiPena.com – Sudah lima kali Indonesia menyelenggarakan Pemilu sejak terjadinya reformasi di tahun 1998. Tapi ternyata, dinyatakan tidak ada yang berubah dari Pemilu hingga saat ini. Bahkan, yang dilihat, Pemilu 2024 pun sama saja, tak melibatkan rakyat secara sepenuhnya. Rakyat hanya menjadi pelengkap penggembira dari gelaran pesta lima tahunan tersebut.
Pengamat Geopolitik Hendrajit menyatakan tidak ada perubahan pada sistem politik Indonesia, sejak Orde Baru hingga sekarang.
“Yang terjadi cuma perubahan aturan main. Aktor-aktornya tetap sama, hanya berpindah partai atau membangun partai baru. Sehingga sistem pemilu tetap tidak berubah, bahkan berkesinambungan,” kata Hendrajit, ditulis Senin (11/12/2023).
Ia menjelaskan aspek pemilik modal atau kapitalis Indonesia berbeda dengan yang ada di luar negeri.
“Kapitalis luar itu membangun kekuatannya dari usaha yang dimilikinya, apakah itu tambang atau agrobisnis, baru membangun emporium ekonomi, hingga menguasai politik. Mereka adalah cerminan kapitalis borjuis, yang memiliki kekuatan hingga bisa membangun emporium kekuasaan, bukan hanya ekonomi tapi juga politik, hingga ke luar dari negaranya,” urainya.
Berbeda dengan Indonesia, yang ada hanya kaum borjuis yang berasal dari kapitalis birokrat atau kapitalis negara.
“Di mulai dari dibukanya celah bagi kaum militer untuk masuk ke birokrasi dan ekonomi. Atau para pengusaha yang masuk dalam kelompok yang menguasai militer atau politik. Mereka ini lah para kaum kapitalis semu dengan kekuatan yang real,” urainya lagi.
Para kapitalis birokrat ini mempunyai kekuasaan hingga ke pedesaan, sehingga mampu menentukan kebijakan sektor ekonomi bisnis, hingga sektor politik.
“Dengan membawa aura feodalisme klasik menjadi feodalisme gaya baru. Jadi kalau ada yang mau bisnis, harus seizin mereka, setor ke mereka. Mereka ini juga memiliki kekuatan di bidang politik. Jadi, layaknya seperti broker-broker politik,” kata Hendrajit.
Saat reformasi terjadi, kekuatan militer disingkirkan. Tapi sebenarnya mereka hanya disingkirkan dari kekuatan politik tanpa melepaskan cengkeraman mereka di dunia politik, ekonomi, dan birokrasi.
“Yang melanjutkan adalah keturunan mereka. Sementara, di lapangan tetap ada para politisi dan para pengusaha, yang bukan kapitalis murni. Sehingga terbentuklah suatu sistem perekrutan baru, yang memastikan para rekrutan ini akan menegakkan sistem yang sama, di mana rakyat tidak boleh terlibat,” ujarnya.
Layaknya dalam sebuah perusahaan go publik yang membuka kepemilikan sahamnya pada publik, tapi sebenarnya para pemodal tak pernah kehilangan penguasaan mereka pada perusahaan tersebut.
“Mereka memang melepas sebagian saham mereka tapi kan para pemilik saham baru itu tidak saling mengenal. Jadi tidak akan ada gerakan terorganisir, untuk menggugat jika terjadi kebobrokan dalam perusahaan tersebut. Kalau pun ada penggantian para pemimpin perusahaan, tetap saja para pemilik modal bisa menentukan orang-orang yang akan memimpin perusahaan tersebut,” ujarnya lagi.
Sehingga, kata Hendrajit, itu lah yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilu Indonesia saat ini.
“Masyarakat yang jumlahnya banyak, hanya jadi penggembira saat Pesta Demokrasi lima tahunan digelar. Kalau istilah sekarang, Pemilu Riang Gembira. Tapi masyarakat digiring untuk memilih orang-orang yang sudah mereka siapkan, tanpa melihat bagaimana wawasan dari para calon pemimpinnya ini,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa